turn the music on ! : )

Friday, January 6, 2012

Pelukis Tua di Dalam Mataku


Ada seorang pelukis tua yang sudah lama menetap di dalam mataku – mata kanan – , mungkin sudah sekitar sembilan tahun terhitung sejak aku memakai seragam putih abu – abu. Pelukis itu tidak pernah tidur dan selalu mempunyai banyak cat di paletnya yang tidak pernah habis. Sebut saja semua warna yang ada di pikiranmu, semua itu lengkap di atas palet yang selalu dipegangnya. Dengan cat seribu warna dan kuas ajaibnya dia selalu melukis banyak hal di balik lensa mataku, tapi dia aneh; lukisannya tidak pernah selesai – setengah jadi lalu ia menghapusnya lagi sebelum memulai lukisan baru. Aliran realisnya membuat dia mampu melukis pemandangan sehalus foto dan senyata tatapan mata.
Kadang pelukis itu mengamuk dan melempari lensa mataku dengan cat dan mengaburkan pandanganku, ia membuatku tak dapat melihat dengn jelas dan bayangan benda yang kulihat entah jatuh dimana – tidak di retina. Aku boleh tenang, ia jarang mengamuk, ia cukup tenang terutama pada malam hari yang gelap. Aku tahu dia butuh banyak cahaya sehingga aku selalu mematikan lampu sebelum tidur agar dia berhenti melukis, saat – saat seperti itu aku mempunyai banyak waktu untuk tidak menatap lukisannya dan bermain imajinasi dengan otakku yang sebagian hampir ditumbuhi jaring laba – laba.
Suatu sore, hari kedua kuliah semester ini setelah libur panjang, aku berjalan sendirian ke kampus di bawah paying merahku. Angin berhembus pelan, namun sangat dingin, gerimis turun begitu rapat, tetapi terlalu rintik untuk disebut hujan. Aku memasuki sebuah ruang kelas di lantai tiga gedung kuliahku, orang menyebutnya gedung F, dan duduk di baris kedua tepat di bangku tengah sehingga aku merasa seperti paku yang menandai titik tengah papan tulis di depanku. Ruangan ini dikelilingi kaca, sebagian memiliki bingkai yang membuatnya bisa dibuka untuk member jalan udara mengalir masuk, sebagian terpasang baku tanpa bisa digerakkan. Hanya ada satu sisi dinding tanpa kaca, di sebelah kananku, yang dibatasi dua pintu abu – abu di masing – masing ujungnya, pintu yang satu terlihat sejajat dengan papan tulis, pintu yang lain sejajar dengan deretan bangku paling belakang.
Aku memandangi dosenku yang berambut pirang berbicara menerangkan dilabus di depan kelas. Dia mulai bercerita panjang lebar tentang literature theory yang akan menjadi teman baikku satu semester ini.
Hujan masih turun, tidak ada yang istimewa. Bagiku hujan hanyalah air yang turun dari langit – benda yang sebenarnya tidak ada – karena hasil kondensasi kumpulan titik air – orang menyebutnya awan – ketika tersentuh udara dingin lalu gugur perlahan dalam bentuk air dan akhirnya disebut hujan. Itu yang aku lihat ketika hujan turun di sore yang begitu dingin. Mendadak pelukis tua di mataku pun melukis hujan yang dilihatnya dari balik lensaku. Ia mulai melukisnya persis seperti pemadangan di luar; hujan terlihat rintik dari balik kaca, turun perlahan membasahi pohon – pohon angsana, pohon pinus tinggi, yang hanya terlihat sebagian dari ruangan ini, dan langit kelabu. Lalu di menorehkan cat berwarna kuning di atas langit, ada beberapa guratan putih dan biru muda terang membentuk banyak sosok bersayap dan bercahaya, wajah sosok – sosok itu tidak terlihat, semua terbisakan cahaya agung putih kekuningan dan sayap – sayap besar mereka tertutup menyembunyikan bahu yang terkulai, tetapi nampak jelas air terus menetes dari wajah mereka, mungkin dari mata, lalu jatuh ke bumi menjadi pemandangan yang aku lihat. Ya, pelukis tua itu memandang hujan sebagai tangisan para malaikat. Entah apa yang yang dipikirkannya.
Lukisan di lensa mataku yang dibuatnya memang sangat indah, tetapi aku sangat membencinya. Pikiranku jadi tidak fokus karena pandanganku terhalang lukisan yang belum dihapusnya, bahkan lukisan itu semakin jelas saat aku memandang ke papan tulis putih dimana ada banyak goresan disana; literary theory and application, philosophy, culture, dan entah apa lagi. Semua itu dihubungan dengan garis – garis dan tanda panah, sementara seorang bule yang cute dan cantik itu itu melangkah kesana kemari dengan blouse putih dan celana abu – abunya yang serasi dengan syal abu – abu gelap bermotif sederhana di lehernya. Lukisan di lensa mataku benar – benar menghalangi pandangan. Menyebalkan. Aku berkedip, syukurlah pelukis tua itu sudah bosan memandang lukisan itu dan menghapusnya entah dengan apa.
Aku tdak pernah mengerti pikiran pelukis tua itu, mungkin dia tidak punya otak sehingga selalu saja melukiskan hal – hal yang tak masuk akal. Pernah aku memandang seseorang yang sebenarnya biasa saja, dengan tatapan sedikit kagum. Pelukis itu mengamuk, dia melukiskan sosok laki – laki dengan cat berwarna hitam untuk mengacaukan pandanganku. Aku sangat marah, karena wajah orang itu menjadi kabur dan aku sulit melihatnya dengan jelas. Semakin aku marah dan semakin hatiku mengaguminya, pelukis tua yang menyebalkan itu semakin menorah cat hitam pekat. Pelukis itu ngotot menggambar sosk mengerikan di lensa mataku. Semakin aku memikirkan orang itu, pelukis tua di mataku semakib menjadi – jadi, tanpa menghapus cat hitam dia menumpuknya dengan cat warna – warni dan melukis tokoh fantasi yang berjalan melintasi planet seperti sebuah negeri dongeng. Ketika aku berpikir orang itu begitu baik dan menyenangkan, pelukis tua itu malah menggambar sesosok pria idiot yang gendut dan tak bisa aku ajak berkomunikasi. Dia memaksaku memandang semua itu bahkan di malam hari ketika lampu kamar telah kumatikan dan aku telah tidur, pelukis tua itu masih saja mengamuk dengan melemparkan palet yang di atasnya terdapat seribu warna cat.
Kadang aku ingin mencungkil mataku saat pelukis itu mengamuk seperti beberapa hari lalu. Dia melemparkan cat, kuas, dan palet hingga berantakan di dalam bola mataku. Sakit. Aku seolah tak dapat membuka mata dan kelopak mataku serasa begitu berat seperti bibir yang terasa tebal saat kamu disuntik obat bius sebelum cabut gigi. Aku menelan parasetamol untuk meredam rasa sakit. Biasanya beberapa jam saja aku sudah pulih, namun saat itu dia benar – benar sudah gila seperti orang patah hati sehingga mengamuk selama empat hari dan aku terpaksa membatalkan beberapa acara karenanya.
Sampai hari ini pelukis tua itu masih tinggal di dalan bola mataku. Entah sampai kapan. Aku membiarkannya, aku hanya takut dia mulai mengamuk atau melukis hal mengerikan saat aku memandang seseorang. Biarlah, aku harus sabar sampai dia melukis sepasang sayap dan garis cahaya saat aku menatap seseorang yang entah siapa.

#Salatiga, gedung F UKSW. 6/01/2012. 05.00 pm.

Thursday, January 5, 2012

Cerita Jendela


Aku menatap kabut tipis yang terlihat seperti selendang bidadari dari balik kaca. Kabut itu turun sedikit demi sedikit dan terlihat transparan ketika melewati lampu jalan di tiang listrik yang bersinar kekuningan menerangi beberapa ruas jalan kecil di bawah balkon sana. Angin terasa lembut menyentuh rambutku yang basah dan kulitku yang baru setengah kering menebarkan aroma sabun mandi yang segar. Aku merasa ada sesisi kosong dalam rongga dadaku setiap kali aku menarik udara masuk ke dalam paru – paru. Udara yang dingin itu seolah – olah masuk menusuk satu sisi paru – paru dan menyelimuti, memenuhi rongga kosong di antara jantung di balik tulang rusukku. Bahkan aku merasa sekalipun aku mendapatkan setengah harta dunia rongga itu akan terus kosong, kepuasan tidak akan mampu mengusirnya.
Aku menutup kaca yang dibingkai kayu berpelitur cokelat tempat aku meletakan sesisi daguku dan menuruni tangga, lalu keluar. Aku berjalan menyeberangi jalan dan memasuki sebuah gang tepat di samping sebuah café, Kampung Steak, dan melihat seorang penjual nasi goreng yang seharusnya lewat di bawah balkon tempatku berdiri tadi. Rupanya dia ada di sini.
Aku memesan seporsi nasi goreng. Ah, tidak!
“Pak, nasi gorengnya ndak jadi. Minta mie rebus saja.”
“Oh, iya, Mbak. Pedes?”
“Pedes banget, Pak.”
Aku menatap bapak penjual nasi goreng dan mie keliling itu, dia tampak tidak ramah dan sedikit ketus. Ya, memang begitu. Kadang dia juga marah jika ada pembeli yang makan dengan piringnya terlalu lama, sehingga dia tidak bisa segera berkeliling menjajakan jualannya itu, tetapi orang masih lebih mementingkan rasa. Agaknya banyak pelanggan setia yang memakluminya dan tetap menikmati masakannya yang memuaskan lidah.
Aku berdiri di seberang gang, di sisi samping sebuah rental komputer dan fotokopi sambil memandang kaca – kaca lebar Kampung Steak yang membiaskan cahaya kekuningan lampu dinding. Seorang laki – laki yang mungkin beberapa tahun lebih tua dariku duduk di balik salah satu jendela, sesekali kedua mata di balik kaca mata berbingkai hitamnya menatap langit di luar, lebih sering dia meletakan tangan di atas meja sambil memandang seorang gadis di depannya yang berambut lurus hampir sepunggung. Aku tersenyum sendiri, keduanya nampak bercerita di balik jendela kaca bening yang lebar, sebuah jendela yang diapit dua jendela dengan bentuk yang sama persis.
Pikiranku melompat – lompat membentuk cerita tanpa alur yang semakin kacau ketika menangkap sebait lagu terdengar sampai keluar café.
Maukah kau tuk menjadi pilihanku…
Menjadi yang terakhir dalam hidupku…
Sial, lagu ini membawaku kepada hal lain. Bukan ini yang seharusnya meracuni otakku. Sedikit terlalu pagi untuk memutar lirik sejenis itu dalam player otakku. Ada sebait senandung lain yang terputar di alam bawah sadarku yang memang tidak sadar, dan terlalu jauh dari kenyataan.
“Mbak, jadinya mie rebus?”
Suara itu mengembalikan kesadaranku ke titik tertinggi. Aku beralih ke sisi lain gang, tepat di bawah jendela tadi. Menempatkan punggungku bersandar di tembok abu – abu di bawah layar yang dibentuk lembaran kaca besar, orang menyebutnya jendela, aku menyebutnya bingkai film lama. Di sini aku tidak dapat menonton film di balik kaca itu.
“Mbaknya kuliah di Satya Wacana, ya?” agak heran, penjual nasi goreng kelilingan itu mendadak mengajakku memulai percakapan, “Jurusan apa?”
“Bahasa Inggris, Pak.”
“Asalnya mana, to?”
“Purbalingga, Pak.”
“Itu ndak yang di Jawa Timur? Opo sing habisnya Wonosobo.”
“Habis Wonosobo, Pak. Nek yang Jawa Timur itu Probolinggo, sanes Purbalingga.”
“Oh, iyo. Anakku, yo, kuliah okh Mbak?”
“Oh, wonten  pundi, Pak?” aku agak canggung memilih bahasa.
“UNY Jogja, ndek kemarin sudah lulus jurusan elektronika, sekarang lagi S2.”
Aku tersenyum, luar biasa. Entah dari mana sekuncup kagum merekah dalam dadaku.
“Di UNY juga, Pak?”
Iyo,  sekarang malah lagi kuliah S1 lagi, tapi informatika. Lah, nek S1 elektronika ndak bisa ngajar di semua sekolah, yak’e.
“Wah, S1nya dobel. Kuliah bareng S2 juga, to, Pak?”
Iyo, tapi dia nyambi ngajar. Nglamar ngajar disana, kok yo angel banget. Katanya yang nglamar banyak, ada dosen juga, dari empat puluh orang, cuma diambil dua, yo kuwi anakku masuk,” bapak itu mengipasi tungku bara tempat dia memasak pesananku, aku melihat matanya setengah menerawang.
Syukur, yo, Pak. Wong, rejeki nggih wonten mawon”
“Iya, berarti besok dia sudah punya tiga ijazah. Kemarin yang elektronika, tahun ini nambah S1 informatika sama S2,” katanya sembari membungkus mie rebus buatanku.
Aku membayar, lalu menatap sekilas ke jendela di atasku dan memandang sekilas. Jendela itu tampak kosong, café terasa lengang, lampu kuning yang redup itu masih bersinar dari balik dinding, dan musik masih terdengar sampai luar. Udara semakin dingin, angin memainkan rambutku nakal, tetapi rasa di dadaku berubah menjadi hangat.
Menyeberangi jalan yang terasa agak sepi, hanya satu dua sepeda motor dan sebuah mobil sedan melintas pelan perasaanku masih kosong. Mataku teralih pada sebuah jendela lain dengan kaca hitamnya yang membuyarkan film dibaliknya menjadi siluet – siluet orang yang sedang memainkan sendok garpunya untuk memotong steak makan malam mereka. Namun aku disini, di luar jendela. Selalu ada cerita dari balik jendela kaca, hanya saja lebih banyak rasa ketika aku melangkahkan kakiku di luar, di pinggir jalan, di tepian gang, dimanapun itu saat aku jauh dari jendela yang terhalang kaca.  
#Salatiga.Gang Monginsidi II. 4/01/2012.09.15 pm.