turn the music on ! : )

Sunday, December 8, 2013

Negeri Pembaca Mantra

Di tempat ini orang senang sekali membaca mantra. Setiap saat terdengar mantra menggaung – gaung di tepi jalan, di tempat makan, di kamar tidur, di sekolah, dan di setiap sudut kota sampai pelosok kampong terjauh. Pejabat tinggi membaca mantra, rakyat jelata sampai pengemis renta pun membaca mantra yang sama. Ada mantra yang harus dibaca saat hendak makan, saat hendak tidur, saat hendak berpergian, pokoknya hampir setiap hendak melakukan sesuatu, bahkan saat mengetuk pintu rumah orang atau masuk ke toilet. Semua mantra itu harus diucapkan dengan benar, dilafalkan sesuai ejaan yang benar, hati – hatilah jika kau salah membaca, bisa – bisa salah pula langkah yang kau ambil! Bahaya!
Aku ada pendatang, aku tidak mengerti mantra yang mereka ucapkan. Jangankan hafal, tau pun tidak. Bahaya, begitu kata orang. Jika tidak hafal maka aku akan jadi sesat. Ngeri memang. Pernah suatu siang aku datang berkunjung ke rumah tetangga, aku hendak meminjam gergaji untuk memotong kayu. Aku datang, langsung mengetuk pintunya.
“Permisi!” seruku sembari mengetuk pintu.
Sunyi, belum juga pintu dibukakan. Aku mendengar ada orang lalu lalang di dalam rumah. Ah, mungkin mereka tidak mendengar suaraku.
Tok…tok..tok…
“Permisi!” lagi, aku berseru lebih kencang sambil mengetuk pintu.
Suara langkah – langkah di dalam rumah itu terdengar jelas, tetapi ada satu langkahpun yang terdengar menuju pintu depan. Aku berdiri diam – diam, mencoba menajamkan pendengaranku, kalau – kalau sang pemilik rumah datang untuk membuka pintu. Aku menunggu beberapa saat sebelum mengetuk pintu lagi.
“Permisi!”
Tok…tok…tok…
Sekali lagi aku mengetuk pintu sambil berseru. Aku memperhatikan mereka dari jendela kaca di sebelah pintu nampak sedang membaca mantra mengelilingi meja makan. Mereka hendak makan rupanya, tidak seorangpun menoleh ke arah pintu. Mereka semua berlaku wajar, seolah aku tidak ada. Seolah aku tidak pernah mengetuk pintu atau berseru – seru di balik pintu. Apakah mereka benar – benar tidak mendengar? Bagaimana caranya mengetuk pintu di sini? Karena putus asa aku pun pulang. Menunda pekerjaan yang terbengkalai. Mana mungkin bisa memotong batang pohon yang tumbang itu tanpa gergaji! Sial betul!
Ah, orang – orang di ruamh itu! Tiba – tiba aku ingat betapa menyebalkannya mereka. Duduk mengelilingi meja makan yang hanya kurang dari lima meter dari pintu yang aku ketuk dengan keras, masakkan tidak ada satu telingapun yang mendengar? Melirik  ke arah pintu pun tidak! Sungguh terlalu! Ah, ya sudahlah! Lebih baik aku pergi untuk makan di warung ujung jalan, begitu aku mendengar orang menyebut warung makan yang memang ada di penghujung jalan di perkampungan ini.
Aku duduk di meja kayu yang ada di warung makan ini. Memesan makanan dan segelas es teh manis. Langsung aku makan saja makanan karena memang aku lapar. Mata semua orang tertuju padaku, bahkan seorang lelaki paruh baya berpakaian putih yang baru saja turun dari sepeda di depan warung menatapku dengan tajam.
Dia datang kepadaku dengan langkah mantap, mengucapkan sederet mantra yang aku dengar beberapa kali, entah apa maksudnya mungkin artinya permisi atau apa. Semua orang yang tengah makan menghentikan makannya, semua menatap lelaki berbaju putih itu lalu menjawab mantranya dengan sederetan mantra lain yang juga aku tidak mengerti maknanya. Kompak sekali, mereka melafalkan dengan kompak, dengan rima yang sungguh harmonis, sepert paduan suara terlatih. Aku tidak dapat menjawabnya, tetapi aku berdiri dari kursiku dan menyilakan ia duduk. Lelaki itu menarik kursi, lalu duduk dengan anggun, merapikan baju putihnya, entah apa nama bajunya, kemeja kepanjanga begitu mataku menangkap kesannya.
Baru beberap detik lelaki itu duduk, dia sudah mengeluarkan sederet kata – kata dengan anggunnya dia berkata, tetapi menusuk hati. Perkataanya memiliki inti bahwa aku ini orang yang bersalah, kafir atau apalah istilahnya. Aku mendengarkan dengan isi perut yang mendadak menjadi kenyang dan mendidih. Apa – apaan ini? Apa maksudnya? Aku sungguh tidak mengerti!
“Maaf, jikalau Anda tidak keberatan, saya memohono kiranya Anda sudi menunjuk dimana kesalahan saya?”
“Jadi Anda tidak tahu?”
“Sama sekali tidak, Tuan,” suara bergetar karena menahan marah bercampur bingung.
“Anda bertingkah seperti bukan manusia saja,” katanya sedikit angkuh untuk menunjukkan wibawa.
“Jadi?”
“Makan dengan lahapnya dengan melupakan mantra hendak makan. Sejak kapan seorang manusia makan tanpa berucap demikian?”
Aku tertawa. Hilang sudah marahku, menguap sudah rasa bingungku. Mendadak aku terbahak – bahak sampai hampir menumpah seluruh makanan yang ada di atas meja. Menggelikan sekali. Lelaki paruh baya itu terkejut, mukanya memerah karena marah, merasa terhina. Tangannya mengepal kuat, mungkin dia menahan diri agar tidak menempeleng kepalaku yang dianggapnya kosong melompong.
“Baiklah, saya bersalah. Saya tidak mengerti mantra apapun yang semua orang ucapkan di tempat ini. Ampuni saya, Tuan,” aku berhenti tertawa, mencoba bersikap sesopan mungkin, “Tetapi baiklah Tuan mengajarkan mantra itu kepada saya.”
Lelaki itu menyebut beberapa mantra, yang pertama mantra itu harus aku tirukan. Katanya itu mantra yang membuat aku diterima oleh penduduk di sini. Aku tirukan saja. Dia tersenyum puas, seolah menang mencatatkan satu jiwa dalam buku tagihannya. Selanjutnya dia mengucapkan satu dua mantra dan memberitahuku kapan aku harus mengucapkannya. Aku kesulitan menghafalnya. Bahasa mantra itu sungguh asing bagiku, aku tak mengerti maknanya, bagaimana aku bisa menghafalnya?
“Maaf, Tuan, sungguh sulit menghafalnya. Bisakah Tuan memberi tahu saya makna mantra tersebut?”
“Hush, kurang ajar sekali!”
“Loh? Apa lagi salahnya?” aku melongo bingung.
“Itu kalimat agung yang sakral! Tidak seorangpun boleh memperdebatkan apa artinya. Baca saja, itu akan membawamu dalam kebaikan.”
Aku melongo, lalu kembali tertawa, terbahak – bahak sampai sakit perut dan ingin muntah. Seluruh wajah terasa kaku karena terlalu lama tertawa. Sementara lelaki itu merah padam, tidak lagi bisa menahan amarahnya yang memuncak sampai di ubun – ubun, lalu dia memukul meja dengan keras. Orang – orang yang tadinya mengabaikan menjadi memperhatikan, ada yang berkomentar betapa kurang ajarnya aku, ada yang membaca sebuah mantra entah apa, ada yang terlihat ikut marah, lucunya ada yang tetap makan.
“Beraninya tertawa! Terkutuklah kamu selama hidupmu! Apa yang kamu tertawakan?” katanya dengan kasar.

Aku malah tertawa lagi. Mau bilang apa lagi? Dimana hati dan otak orang - orang ini? Aku sungguh sulit memahami, ah, ya sudahlah lagi pula apa gunanya menanyakan hati pada pembaca mantra? Mereka bahkan tak mengerti apa yang mereka hafal.