Di
tempat ini orang senang sekali membaca mantra. Setiap saat terdengar mantra
menggaung – gaung di tepi jalan, di tempat makan, di kamar tidur, di sekolah,
dan di setiap sudut kota sampai pelosok kampong terjauh. Pejabat tinggi membaca
mantra, rakyat jelata sampai pengemis renta pun membaca mantra yang sama. Ada
mantra yang harus dibaca saat hendak makan, saat hendak tidur, saat hendak
berpergian, pokoknya hampir setiap hendak melakukan sesuatu, bahkan saat
mengetuk pintu rumah orang atau masuk ke toilet. Semua mantra itu harus
diucapkan dengan benar, dilafalkan sesuai ejaan yang benar, hati – hatilah jika
kau salah membaca, bisa – bisa salah pula langkah yang kau ambil! Bahaya!
Aku
ada pendatang, aku tidak mengerti mantra yang mereka ucapkan. Jangankan hafal,
tau pun tidak. Bahaya, begitu kata orang. Jika tidak hafal maka aku akan jadi
sesat. Ngeri memang. Pernah suatu siang aku datang berkunjung ke rumah
tetangga, aku hendak meminjam gergaji untuk memotong kayu. Aku datang, langsung
mengetuk pintunya.
“Permisi!”
seruku sembari mengetuk pintu.
Sunyi,
belum juga pintu dibukakan. Aku mendengar ada orang lalu lalang di dalam rumah.
Ah, mungkin mereka tidak mendengar suaraku.
Tok…tok..tok…
“Permisi!”
lagi, aku berseru lebih kencang sambil mengetuk pintu.
Suara
langkah – langkah di dalam rumah itu terdengar jelas, tetapi ada satu
langkahpun yang terdengar menuju pintu depan. Aku berdiri diam – diam, mencoba
menajamkan pendengaranku, kalau – kalau sang pemilik rumah datang untuk membuka
pintu. Aku menunggu beberapa saat sebelum mengetuk pintu lagi.
“Permisi!”
Tok…tok…tok…
Sekali
lagi aku mengetuk pintu sambil berseru. Aku memperhatikan mereka dari jendela
kaca di sebelah pintu nampak sedang membaca mantra mengelilingi meja makan.
Mereka hendak makan rupanya, tidak seorangpun menoleh ke arah pintu. Mereka
semua berlaku wajar, seolah aku tidak ada. Seolah aku tidak pernah mengetuk
pintu atau berseru – seru di balik pintu. Apakah mereka benar – benar tidak
mendengar? Bagaimana caranya mengetuk pintu di sini? Karena putus asa aku pun
pulang. Menunda pekerjaan yang terbengkalai. Mana mungkin bisa memotong batang
pohon yang tumbang itu tanpa gergaji! Sial betul!
Ah,
orang – orang di ruamh itu! Tiba – tiba aku ingat betapa menyebalkannya mereka.
Duduk mengelilingi meja makan yang hanya kurang dari lima meter dari pintu yang
aku ketuk dengan keras, masakkan tidak ada satu telingapun yang mendengar?
Melirik ke arah pintu pun tidak! Sungguh
terlalu! Ah, ya sudahlah! Lebih baik aku pergi untuk makan di warung ujung
jalan, begitu aku mendengar orang menyebut warung makan yang memang ada di
penghujung jalan di perkampungan ini.
Aku
duduk di meja kayu yang ada di warung makan ini. Memesan makanan dan segelas es
teh manis. Langsung aku makan saja makanan karena memang aku lapar. Mata semua
orang tertuju padaku, bahkan seorang lelaki paruh baya berpakaian putih yang
baru saja turun dari sepeda di depan warung menatapku dengan tajam.
Dia
datang kepadaku dengan langkah mantap, mengucapkan sederet mantra yang aku
dengar beberapa kali, entah apa maksudnya mungkin artinya permisi atau apa.
Semua orang yang tengah makan menghentikan makannya, semua menatap lelaki
berbaju putih itu lalu menjawab mantranya dengan sederetan mantra lain yang
juga aku tidak mengerti maknanya. Kompak sekali, mereka melafalkan dengan
kompak, dengan rima yang sungguh harmonis, sepert paduan suara terlatih. Aku
tidak dapat menjawabnya, tetapi aku berdiri dari kursiku dan menyilakan ia
duduk. Lelaki itu menarik kursi, lalu duduk dengan anggun, merapikan baju
putihnya, entah apa nama bajunya, kemeja kepanjanga begitu mataku menangkap
kesannya.
Baru
beberap detik lelaki itu duduk, dia sudah mengeluarkan sederet kata – kata
dengan anggunnya dia berkata, tetapi menusuk hati. Perkataanya memiliki inti
bahwa aku ini orang yang bersalah, kafir atau apalah istilahnya. Aku
mendengarkan dengan isi perut yang mendadak menjadi kenyang dan mendidih. Apa –
apaan ini? Apa maksudnya? Aku sungguh tidak mengerti!
“Maaf,
jikalau Anda tidak keberatan, saya memohono kiranya Anda sudi menunjuk dimana
kesalahan saya?”
“Jadi
Anda tidak tahu?”
“Sama
sekali tidak, Tuan,” suara bergetar karena menahan marah bercampur bingung.
“Anda
bertingkah seperti bukan manusia saja,” katanya sedikit angkuh untuk
menunjukkan wibawa.
“Jadi?”
“Makan
dengan lahapnya dengan melupakan mantra hendak makan. Sejak kapan seorang
manusia makan tanpa berucap demikian?”
Aku
tertawa. Hilang sudah marahku, menguap sudah rasa bingungku. Mendadak aku
terbahak – bahak sampai hampir menumpah seluruh makanan yang ada di atas meja.
Menggelikan sekali. Lelaki paruh baya itu terkejut, mukanya memerah karena
marah, merasa terhina. Tangannya mengepal kuat, mungkin dia menahan diri agar
tidak menempeleng kepalaku yang dianggapnya kosong melompong.
“Baiklah,
saya bersalah. Saya tidak mengerti mantra apapun yang semua orang ucapkan di
tempat ini. Ampuni saya, Tuan,” aku berhenti tertawa, mencoba bersikap sesopan
mungkin, “Tetapi baiklah Tuan mengajarkan mantra itu kepada saya.”
Lelaki
itu menyebut beberapa mantra, yang pertama mantra itu harus aku tirukan.
Katanya itu mantra yang membuat aku diterima oleh penduduk di sini. Aku tirukan
saja. Dia tersenyum puas, seolah menang mencatatkan satu jiwa dalam buku
tagihannya. Selanjutnya dia mengucapkan satu dua mantra dan memberitahuku kapan
aku harus mengucapkannya. Aku kesulitan menghafalnya. Bahasa mantra itu sungguh
asing bagiku, aku tak mengerti maknanya, bagaimana aku bisa menghafalnya?
“Maaf,
Tuan, sungguh sulit menghafalnya. Bisakah Tuan memberi tahu saya makna mantra
tersebut?”
“Hush,
kurang ajar sekali!”
“Loh?
Apa lagi salahnya?” aku melongo bingung.
“Itu
kalimat agung yang sakral! Tidak seorangpun boleh memperdebatkan apa artinya.
Baca saja, itu akan membawamu dalam kebaikan.”
Aku
melongo, lalu kembali tertawa, terbahak – bahak sampai sakit perut dan ingin
muntah. Seluruh wajah terasa kaku karena terlalu lama tertawa. Sementara lelaki
itu merah padam, tidak lagi bisa menahan amarahnya yang memuncak sampai di ubun
– ubun, lalu dia memukul meja dengan keras. Orang – orang yang tadinya mengabaikan
menjadi memperhatikan, ada yang berkomentar betapa kurang ajarnya aku, ada yang
membaca sebuah mantra entah apa, ada yang terlihat ikut marah, lucunya ada yang
tetap makan.
“Beraninya
tertawa! Terkutuklah kamu selama hidupmu! Apa yang kamu tertawakan?” katanya dengan
kasar.
Aku
malah tertawa lagi. Mau bilang apa lagi? Dimana hati dan otak orang - orang ini? Aku sungguh sulit memahami, ah, ya sudahlah lagi
pula apa gunanya menanyakan hati pada pembaca mantra? Mereka bahkan tak
mengerti apa yang mereka hafal.