turn the music on ! : )

Friday, May 27, 2011

Bermain Layang - Layang, hehehe



awal kisah dimulai dari sini

Sore itu panas, cerah ceria (bahasanya Anel) berangin sepoi – sepoi di Salatiga. Mendadak muncul ide gila yang bermula dari status di akun face book Anel yang intinya berbunyi, “Pengen main layangan”. Langsung saja kami bertiga (saya, Anel, dan Cantik) berniat menerbangkan layangan (yang belum dibeli) di Lapangan Pancasila, ini alun – alunnya Salatiga, loh!
on the way Lapangan Pancasila
sebelum berjuang poto doloooo
Langkah bermain layang – layang ala kami bertiga:
  1. Jalan (tanpa arah jelas) menyusuri gang cari warung yang jual layangan dan benangnya.
  2. Karena step 1 gagal, langkah 2 pun muncul à tanya anak kecil yang lagi main layangan, “Eh, dek, beli layangan dimana?” langsung menuju tempat penjualan layangan (hehehe) diantar adik itu. It’s done by Dhenok
  3. Memilih layangan dengan motif minimalis plus benangnya.
  4. PENTING: minta penjualnya memasangkan benang ke layangan (karena kami tidak bisa, hehehe). Langsung bayar (gak boleh ngutang!). It’s done by Anel.
  5. Membawa layangan ke Lapangan Pancasila (hehehe..giliran ini buat Cantik saja). Tips: diplastikin biar orang gak liat!
  6. Sampai lapangan, coba sebisanya menerbangkan layangan.
  7. Segeralah menyerah, dekati seorang anak – anak sambil berkata, “Dek, bisa minta tolong terbangin layangan ini gak? Nanti, layanganmu kakak pegangin.” (Ini akal – akalan supaya kita bisa merasakan nikmatnya megang layangan yang sudah mengudara.
  8. Step terakhir ini penting: karena sudah bosan dan hasu jadi beli es buah, es teller, dan siomay. Hehehe..
kiri: tipe pejuang, kanan: tipe perampas..hehe


ini lebih enak dibanding main layangan


enak ki, harga terjangkau!

cuma nyisa es sama sendok n mangkok!


pulang? poto lageee



Tuesday, May 24, 2011

Ironisnya Jadi Orang Indonesia


Pagi ini saya mengawali hari dengan selembar kabar menggelikan dari Polewali Mandar, Sulawesi Barat yang diungkap Kompas dalam kolom regional, sebuah semburan air muncul dan langsung dianggap air bermukjizat oleh warga sekitar. Warga berbondong – bondong datang mengambil air itu, bahkan mandi di sana tanpa mengecek asal muasal air itu. Bahkan muncul selentingan yang menyatakan air itu akan membuat kita gampang jodoh. Ironisnya, pejabat setempat, seperti pegawai keluarahan dan kecamatan, awalnya percaya saja dengan air mukjizat itu. Di akhir kisah menggelikan ini terkuak sebuah kebenaran, air mukjizat itu adalah bocoran pipa PDAM, benar – benar sebuah akhirnya yang cukup membuat muka memerah.
Fenomena sejenis ini sudah menjadi hal yang tidak asing di masyarakat kita, sudah terjadi berkali – kali di banyak tempat di Indonesia (tentunya masih ingat kisah Ponari di tahun 2009), mulai dari yang terpencil sampai yang di pusat pemerintahan. Jika hal kepercayaan sejenis ini muncul di antara orang – orang yang masih berpikiran dangkal karena kurang pendidikan dan rendahnya tingkat penghasilan, mungkin masih bisa menjadi hal bisa dimaklumi, tetapi apakah tidak ironis jika ada aparat pemerintahan yang ikut – ikutan percaya? Mengapa orang – orang pintar itu tidak berpikiran lebih jernih dan rasional sebelum percaya? Mengapa sebelum dilakukan pengecekan orang – orang sudah langsung percaya ada hal magis dalam sesuatu yang sebenarnya sering muncul?
Ada sesuatu yang memprihatinkan dalam masyarakat Indonesia, itu hal yang saya tangkap dari fenomena ini. Orang menjadi mudah percaya kepada hal – hal yang tidak rasional tanpa mengecek terlebih dulu, ini menunjukkan tidak adanya pikiran yang dalam dan jernih dalam menanggapi sebuah kejadian. Seperti orang yang sedang putus asa sehingga mau melakukan apapun asal permasalahan terselesaikan tanpa berpikir logis.
Jika kita mau menilik lebih dalam, sebagian besar orang yang percaya begitu saja merupakan orang – orang dari golongan marginal dan sub-marginal. Kita tidak bisa menutup mata, himpitan hidup mereka begitu berat dan menekan, mulai dari himpitan ekonomi, pendidikan, sampai dengan status sosial. Dalam kondisi ini pemerintah seharusnya bisa menjadi pamong, bukan malah ikut – ikutan kalap.
Dari sisi ini saya melihat orang Indonesia berada dalam kondisi haus akan jawaban. Begitu berat kehidupan yang diahadapi denga berbagai masalah yang menekan, hal ini mendorong pikiran untuk mencari sebuah jalan keluar dalam menyelesaikan masalah. Terutama dalam kalangan yang kurang mengenyam pendidikan, keputusasaan dan ketidakmampuan berpikir kritis mengarahkan pikiran masyarakat ke sebuah kondisi dimana nilai – nilai rasional menjadi hal yang tidak dipandang. 

http://regional.kompas.com/read/2011/05/24/18201210/Air.Mukjizat.Masjid.Ternyata.PDAM.Bocor
http://regional.kompas.com/read/2011/05/23/09054240/Warga.Mandi.Semburan.Air.di.Tengah.Mesjid

Saturday, May 21, 2011

Pentas Seni Budaya Indonesia

Bhineka Tunggal Ika, Ya Satya Wacana


Katanya, sih, Universitas Kristen Satya Wacana dikenal sebagai miniatur Indonesia karena di UKSW ini ada (hampir) seluruh etnis dari Sabang sampai Merauke. Sebuah event tahunan yang mempertunjukan kebudayaan dari setiap etnis yang ada di Indonesia pun diadakan. Tahun ini Pentas Seni Budaya Indonesia (PSBI) yang bertemakan Bhineka Tunggal Ika, Ya Satya Wacana digelar selama tiga hari berturut - turut mulai tanggal 19 - 21 Mei lalu, dalam PSBI ini dipentaskan berbagai macam budaya daerah; tari, vokal grup, fashion show, makanan khas, sampai band etnis sebagai penutupnya.



Tuesday, May 17, 2011

Aku Ini Anak yang Beruntung


* “Kamu memang beruntung jika Tuhan melemparmu ke tempat yang kamu inginkan,
tetapi jika suatu kali Tuhan membuangmu ke tempat yang tidak kamu harap, percayalah satu hal:
Dia tahu kamu adalah pembawa keberuntungan, sehingga Dia ingin kamu membuat tempat itu beruntung karena memilikimu.”
dedicated to my lovely brother


Seberapa dari kita yang punya mimpi untuk hidup di suatu tempat, menempuh pendidikan di universitas  XX dan mengambil jurusan XY seperti yang kita mau atau mungkin pekerjaan di kota ini dan tinggal di negara itu? Aku pun memiliki mimpi yang begitu besar untuk bisa jalan – jalan ke luar negeri.
Aku ini hanya seorang anak kampung kecil di provinsi Jawa Tengah, satu hal yang mungkin mustahil untukku bisa menjadi seperti orang – orang TV yang menjadi bintang tamu talk show karena mereka mebuat ini – itu atau pergi kesana – kemari. Namun, aku memiliki sebuah mimpi. Aku bermimpi suatu hari aku terbangun di belahan dunia lain entah dimana. Aku bermimpi bisa tinggal dan bersekolah di sana dengan gratis karena (yang pasti) aku tidak punya setumpuk uang yang cukup untuk membayar mimpiku.
Kurang lebih tahun lalu aku melihat selembar pengumuman di papan pengumuman fakultasku, selembar kertas yang menerbitkan harapanku untuk pergi ke Amerika selama beberapa minggu. Aku akan coba! Itu yang ada di otakku. Aku (diam – diam) mempersiapkan semuanya, TOEFL, essay, dan menemui salah satu dosen yang menurutku bisa membantu dan memberikan reference letter. Aku mengeposkan berkasku ke Jakarta sendiri dan tidak mengatakan pada siapapun.
Sebuah keajaiban datang! Berkasku lolos seleksi dan aku masuk tahap interview. Bagiku ini  hal yang luar biasa, jika lolos interview aku akan berangkat ke Amerika. Wow! Akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada seseorang yang juga mengajukan lamaran yang sama. Kebetulan yang luar biasa teman yang aku tanya juga lolos ke tahap interview. Aku mempersiapkan segalanya dengan baik, advisor-ku sangat senang dan mendoakanku lolos interview. Celaka, aku benar – benar merasa tidak enak ketika selama proses interview! Semua berlalu begitu saja, satu hal yang aku ingat, ”Jangan pernah kecewa jika gagal, Tuhan tidak suka anak yang mudah patah hati,” begitu kata ayah temanku, dan kata – kata itu masih tersimpan dalam hatiku sampa sekarang.
Aku menunggu pengumuman itu datang, sampai akhirnya aku tahu ternyata aku gagal. Sekuat hati aku mencoba untuk tidak kecewa, walau aku menangis. Beberapa saat aku menyadari ada sebuah perubahan besar dalam diriku selama setahun terakhir ini. Aku jadi cengeng! Aku terlalu mudah jathu dan menangis, aku sakit ketika seseorang menghinaku yang tidak bisa menari atau menyanyi dengan baik, aku menangis ketika teman – temanku menceritakan “panggungnya”, tempat dimana aku tidak bisa berada, dan aku akhirnya tahu Tuhan menegurku untuk tidak cengeng dan menjadi kuat dengan kegagalan ini.
Satu semester kemudian aku melamar beasiswa yang sama dengan harapan yang lebih besar. Seperti sebelumnya, berkasku lolos seleksi. Hanya ada dua orang dari kampusku yang mendapat panggilan interview. Aku kembali menapaki kota Semarang bersama temanku ini, dengan lebih tenang, lebih berserah, tetapi lebih berharap. Dengan sangat tenang aku mengikuti setiap proses dan menjawab satu pertanyaan yang mengerikan, “..so, give a me a reason why you are appropriate to get this program?”  Pertanyaan ini membuatku berpikir, professor yang mewawancaraiku menilaku layak, aku tersenyum dan menjawab. Mungkin aku berhasil. Namun, dua bulan kemudian aku tahu ternyata aku GAGAL (lagi).
Aku tidak menangis, aku tersenyum. Menemui pembimbingku (dan istrinya) yang menudukungku. Aku menceritakan semuanya dengan senyuman lega, sangat terhibur dengan kata – kata mereka, “We’re proud of you no matter what!” dan sebuah pelukan melegakan. Terimakasih!
Aku berpikir, Tuhan hanya ingin aku fokus dengan kuliahku, bersikap rendah hati dan melakukan segala sesuatu di sini sebaik mungkin. Menikmati dan memuji dengan tulus bakat teman – teman di sekililingku dan menari di atas panggungku sendiri. Aku bahagia memiliki kehidupan luar biasa, dan mempunyai kesempatan untuk melayani Tuhan dengan teman – teman luar biasa di sekililingku.
Memasuki tahun – tahun akhir kuliahku, aku mulai merencanakan untuk mencari pekerjaan dan melanjutkan kuliah. Aku tersenyum bahagia melihat sebuah kesempatan yang (mungkin) akan Tuhan beri padaku, sebuah tempat dimana aku bisa mulai menaiki tangga mimpiku sambil melanjutkan sekolah.
Ketika rencanaku sudah tersusun (setengah) rapi Tuhan memberiku sesuatu yang belum pernah aku pikirkan. Seorang dosen memanggilku dan menawariku bergabung sebuah program yang memberiku kesempatan besar memperoleh beasiswa di suatu negara yang sangat aku kagumi, belum akan kusebut sekarang, hehe.. dengan segala pertimbangan aku menerima tawaran itu. Memang program ini akan memotong sebagian besar tabungan S2-ku, tetapi aku akan menjalaninya dengan baik. Aku tahu peluang yang Tuhan beri, dan apa yang bisa aku perbuat di sini. Jika esok Tuhan tidak memberiku kesempatan untuk mendapatkan beasiswa untuk sekolah lagi, aku tidak akan menangis dan putus asa karena aku sudah membuat program ini beruntung memilikiku dan Tuhan tidak akan mematahkan tangga mimpiku begitu saja. Jika esok Tuhan memberiku hadiah berupa beasiswa melalui program ini aku akan menjadi anak yang paling beruntung dan (akan) membuat orang – orang di sekelilingku beruntung karena aku beruntung.

Sunday, May 15, 2011

Berbeda Itu (Kadang) Sulit

Sedikit mengutip kata – kata seorang adik tingkat yang berkata, “Ya, bukan gitu, Ka. Masalahnya kan mereka itu Chinese, biasanya ndak mau gabung sama yang lain.”, kalimat itu meluncur dengan begitu polos dari mulut seorang mahasiswa sebuah kampus yang notabene dikenal sebagai miniature Indonesia dimana hampir seluruh etnis dan agama yang ada di Indonesia ada. Sontak saya cenderung menyalahkan kata – kata itu tanpa berpikir panjang, tetapi entah mengapa pikiran saya masih terganggu dengan adanya pernyataan adik tingkat saya itu. Ironis memang, bahkan di sebuah lingkungan yang sudah terbiasa dengan keberagaman ternyata masih sulit juga menjembatani hubungan antar etnis.
Mari sedikit berpikir, seperti sebuah ungkapan tak ada asap jika tidak ada api, tidak mungkin kutipan tersebut muncul jika tidak ada perilaku tertentu yang muncul dari etnis Tionghoa, tetapi tidak mungkin juga (seandainya) penilaian itu benar tidak ada penyebab pasti yang membuat kebiasaan itu muncul. Setiap orang selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu, sekalipun alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh orang lain.
Berbalik ke masa beberapa tahun lalu, dimana sejarah yang mungkin terlupakan terjadi, kita akan membaca sebuah kisah dimana (sebagian) orang pribumi berperan sebagai antagonis atas etnis Tionghoa. Sebuah contoh dari kasus dalam buku Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia, bisa menjadi gambaran sebuah drama diskriminasi terhadap sebuah ras dan bahkan agama. Jika seseorang dilahirkan dan tinggal di Indonesia selama puluhan tahun, bahkan bekerja, dan akhirnya menikah dengan penduduk peribumi, bukankah selayaknya mereka dapat mengurus administrasi mereka untuk menjadi bagian dari negara ini? Menjadi warga negara Indonesia. Namun, pada kenyataannya etnis Tionghoa menjadi korban diskriminasi yang sudah terintis pada masa rezim orde baru (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p.4).
Dalam rekaman sejarah, pada 1917 pemerintah Hindia – Belanda mengeluarkan staatsblad yang mengatur warga Tionghoa dengan salah satu poinnya berisi aturan mengenai rentang waktu pembuatan akta lahir, enam puluh hari setelah kelahiran. Pada 1920 pemerintah mengeluarkan staatsblad yang mengatur warga peibumi dan yang beragama Islam, rentang waktu keterlambatan pembuatan akta lahir adalah Sembilan puluh hari plus satu setelah kelahiran (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. pp. 4 – 5).
Mencermati aturan yang dibuat pemerintah Hindia – Belanda, kita memperoleh satu hal yang terirat di sana. Pernahkah kita berpikir, mengapa harus ada pembedaan perlakuan di sana? Mungkin masih sedikit masuk akal jika alasan yang muncul adalah warga Tionghoa saat itu masih dianggap bukan Indonesia, tetapi pernahkah kita berpikir mengapa muncul klausa “warga pribumi dan yang beragama Islam”? Sebuah aturan dalam tata negara tentunya telah dipikirkan betul apa tujuan dan dampaknya, tentunya kita bisa sedikit mengerti bagaimana tanggapan dan apa yang akan muncul dengan diawalai frasa tersebut.
Cikal bakal aturan itulah yang kemudian menjadi dasar pembuatan akta lahir bagi warga Tionghoa yang kebanyakan stateless seperti apa yang dialami orang Cina Benteng, padahal mereka juga campuran Betawi (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p. 21). Dlam prosesnya banyak hal berbelit – belit terjadi, mulai persidangan dengan hakim – hakim “nakal” yang memeras sebagian besar orang Cina Benteng yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah, persyaratan yang sulit dipenuhi, dan kerja briokrasi yang tidak efesien. Padahal kita tahu akta kelahiran adalah surat yang sangat penting, kita akan memerlukannya untuk keperluan pendidikan, pekerjaan, dan menjadi dasar pembuatan beberapa dokumen lain. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa menginduk Kartu Kelurga kepada keluarga pribumi yang ditulis dengan data yang tidak benar, misalnya agama Konghucu atau Kristen ditulis Islam, katanya supaya mudah. (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. P. 35). Tindak diskriminasi ini masih berlanjut bahkan sampai sekitar tahun 2007 (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p. 89).
Kasus tersebut mungkin terjadi jauh di daeran Jakarta sana, tetapi itu hanyalah satu contoh kecil. Namun, khasus tersebut tentunya juga terjadi di daerah – daerah lain. Mungkin bukan khasus yang sama, tetapi hembusan diskriminasi tentu masih ada di dalamnya. Bukankah hal seperti ini akan menimbulkan sesuatu yang menyakitkan? Dan orang yang merasa jadi korban akan berkumpul lebih erat?
Namun demikian, kita pun harus menilik hal yang mungkin bisa jadi penyebab adanya kejadian yang menimpa orang Cina Benteng. Kita harus menyadari selama 350 tahun bangsa kita hidup dalam penjajahan yang tidak hanya merampas kekayaan kita, tetapi juga meracuni pikiran dan kepribadian bangsa. Kita telah begitu lama diajari untuk sulit menerima perbedaan, sehingga pahan itu membatu dalam pikiran kita. Kita juga harus menyadari adanya trauma mendalam pada diri bangsa ini atas peristiwa tahun 1965 yang melibatkan paham komunis yang kita sendiri tahu dari mana asalnya.
Apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari masa lalu, apa yang kita lakukan saat ini juga akan berdampak bagi masa depan. Mulailah dari hal terkecil dari diri sendiri untuk tidak memandang suku, ras, agama, atau budaya kita lebih baik dari orang lain atau memandang milik orang lain lebih rendah dari kita.

Friday, May 13, 2011

*a crazy lil thing

no..no..no..
I'll never sing such kinda beautiful song
I can't..I can't..I can't sing
no..no..no..
you'll never listen to the song I sing
'cuz boo, yeah, my heart sings the song

can ya feel it inside my heart?
it is something on the way I sing your name
it is beating
it is crazy
it is a little thing
is it love?

yeah..yeah...yeah...
my boo, don't pretend that ya don't know
it is too sweet to play the coy
can you feel?
my heart is melted, no word comes out
deep I sing syalalalalala..ouch...