turn the music on ! : )

Sunday, May 15, 2011

Berbeda Itu (Kadang) Sulit

Sedikit mengutip kata – kata seorang adik tingkat yang berkata, “Ya, bukan gitu, Ka. Masalahnya kan mereka itu Chinese, biasanya ndak mau gabung sama yang lain.”, kalimat itu meluncur dengan begitu polos dari mulut seorang mahasiswa sebuah kampus yang notabene dikenal sebagai miniature Indonesia dimana hampir seluruh etnis dan agama yang ada di Indonesia ada. Sontak saya cenderung menyalahkan kata – kata itu tanpa berpikir panjang, tetapi entah mengapa pikiran saya masih terganggu dengan adanya pernyataan adik tingkat saya itu. Ironis memang, bahkan di sebuah lingkungan yang sudah terbiasa dengan keberagaman ternyata masih sulit juga menjembatani hubungan antar etnis.
Mari sedikit berpikir, seperti sebuah ungkapan tak ada asap jika tidak ada api, tidak mungkin kutipan tersebut muncul jika tidak ada perilaku tertentu yang muncul dari etnis Tionghoa, tetapi tidak mungkin juga (seandainya) penilaian itu benar tidak ada penyebab pasti yang membuat kebiasaan itu muncul. Setiap orang selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu, sekalipun alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh orang lain.
Berbalik ke masa beberapa tahun lalu, dimana sejarah yang mungkin terlupakan terjadi, kita akan membaca sebuah kisah dimana (sebagian) orang pribumi berperan sebagai antagonis atas etnis Tionghoa. Sebuah contoh dari kasus dalam buku Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia, bisa menjadi gambaran sebuah drama diskriminasi terhadap sebuah ras dan bahkan agama. Jika seseorang dilahirkan dan tinggal di Indonesia selama puluhan tahun, bahkan bekerja, dan akhirnya menikah dengan penduduk peribumi, bukankah selayaknya mereka dapat mengurus administrasi mereka untuk menjadi bagian dari negara ini? Menjadi warga negara Indonesia. Namun, pada kenyataannya etnis Tionghoa menjadi korban diskriminasi yang sudah terintis pada masa rezim orde baru (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p.4).
Dalam rekaman sejarah, pada 1917 pemerintah Hindia – Belanda mengeluarkan staatsblad yang mengatur warga Tionghoa dengan salah satu poinnya berisi aturan mengenai rentang waktu pembuatan akta lahir, enam puluh hari setelah kelahiran. Pada 1920 pemerintah mengeluarkan staatsblad yang mengatur warga peibumi dan yang beragama Islam, rentang waktu keterlambatan pembuatan akta lahir adalah Sembilan puluh hari plus satu setelah kelahiran (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. pp. 4 – 5).
Mencermati aturan yang dibuat pemerintah Hindia – Belanda, kita memperoleh satu hal yang terirat di sana. Pernahkah kita berpikir, mengapa harus ada pembedaan perlakuan di sana? Mungkin masih sedikit masuk akal jika alasan yang muncul adalah warga Tionghoa saat itu masih dianggap bukan Indonesia, tetapi pernahkah kita berpikir mengapa muncul klausa “warga pribumi dan yang beragama Islam”? Sebuah aturan dalam tata negara tentunya telah dipikirkan betul apa tujuan dan dampaknya, tentunya kita bisa sedikit mengerti bagaimana tanggapan dan apa yang akan muncul dengan diawalai frasa tersebut.
Cikal bakal aturan itulah yang kemudian menjadi dasar pembuatan akta lahir bagi warga Tionghoa yang kebanyakan stateless seperti apa yang dialami orang Cina Benteng, padahal mereka juga campuran Betawi (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p. 21). Dlam prosesnya banyak hal berbelit – belit terjadi, mulai persidangan dengan hakim – hakim “nakal” yang memeras sebagian besar orang Cina Benteng yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah, persyaratan yang sulit dipenuhi, dan kerja briokrasi yang tidak efesien. Padahal kita tahu akta kelahiran adalah surat yang sangat penting, kita akan memerlukannya untuk keperluan pendidikan, pekerjaan, dan menjadi dasar pembuatan beberapa dokumen lain. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa menginduk Kartu Kelurga kepada keluarga pribumi yang ditulis dengan data yang tidak benar, misalnya agama Konghucu atau Kristen ditulis Islam, katanya supaya mudah. (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. P. 35). Tindak diskriminasi ini masih berlanjut bahkan sampai sekitar tahun 2007 (Harsono, R & Triharyanto, B. 2008. p. 89).
Kasus tersebut mungkin terjadi jauh di daeran Jakarta sana, tetapi itu hanyalah satu contoh kecil. Namun, khasus tersebut tentunya juga terjadi di daerah – daerah lain. Mungkin bukan khasus yang sama, tetapi hembusan diskriminasi tentu masih ada di dalamnya. Bukankah hal seperti ini akan menimbulkan sesuatu yang menyakitkan? Dan orang yang merasa jadi korban akan berkumpul lebih erat?
Namun demikian, kita pun harus menilik hal yang mungkin bisa jadi penyebab adanya kejadian yang menimpa orang Cina Benteng. Kita harus menyadari selama 350 tahun bangsa kita hidup dalam penjajahan yang tidak hanya merampas kekayaan kita, tetapi juga meracuni pikiran dan kepribadian bangsa. Kita telah begitu lama diajari untuk sulit menerima perbedaan, sehingga pahan itu membatu dalam pikiran kita. Kita juga harus menyadari adanya trauma mendalam pada diri bangsa ini atas peristiwa tahun 1965 yang melibatkan paham komunis yang kita sendiri tahu dari mana asalnya.
Apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari masa lalu, apa yang kita lakukan saat ini juga akan berdampak bagi masa depan. Mulailah dari hal terkecil dari diri sendiri untuk tidak memandang suku, ras, agama, atau budaya kita lebih baik dari orang lain atau memandang milik orang lain lebih rendah dari kita.

No comments:

Post a Comment