“Konichiwa..!”
“Hai, konichiwa.”
“Silakan, mau pesan apa?”
“Cold ocha….”
“Ada yang lain?”
“Mmmm…bisa nanti? Masih nunggu seseorang.”
“Hai, jadi cold ocha satu?”
“Ya, thank you!”
Ocha, sejenis green tea asal Jepang. Aku selalu menyukainya. Teh ini memang enak. Aroma dan warnanya khas, terasa agak pahit, terlihat hijau segar transparan dalam gelas yang berembun dengan balok – balok es bergerak – gerak timbul tenggelam.
“Silakan!”
“Thank you!”
Balok – balok es dalam gelas panjang itu semakin berputar ketika gelas kugoyangkan beberapa kali. Embun di tepian gelasnya semakin banyak dan menetes di atas meja hitam yang terlihat kontras dengan bangku merah yang kududuki. Seperempat isi gelas panjang itu kini berkurang, embun di sisi luarnya berubah menjadi butir – butir air yang menetes, mengalir dari sisi luar gelas, yang kini terdiam di atas meja, membentuk sebuah lingkaran air di atas meja.
Warna hijau transparan dalam gelas itu semakin memudar. Memudar sampai akhirnya menghilang, menjadi air mineral dalam sebuah botol di antara suara canda tawa dan lagu dalam sebuah bis yang melintasi panasnya kota Solo, berhenti di halaman parkir museum batik Danar Hadi.
“I wanna go to the toilet for a while, do you?” aku mendengar suaraku siang itu.
“Oh, thank you, but can I just wait for you here?”
“Of course, but is it ok?”
“That’s okay!”
“Ah, gomen ne! Chotto!”
Aku mencuci tangan sambil menatap wajahku di cermin seraya menampakkan sebuah lengkung di bibirku yang orang bilang sebagai senyuman. Menahannya sesaat dan berharap lengkung itu masih bertahan sampai beberapa hari lagi.
“Hai! Satu…Dua..Tiga..!”
Aku melihat seorang temanku mengarahkan kameranya kepada dua orang yang tengah duduk setengah mesra di hadapannya. Sang pria dengan Polo T-shirt coklat kopi serta jeans gelap nyaris hitam selututnya dan setangkai bunga yang tampak rapuh, namun cantik, duduk bersimpuh hampir bersandar dalam T-shirt hijau nya yang terlihat pas berada di atas rok senada yang dipakainya.
“Nok’e, ojo mikir macem – macem, loh! Mung foto, thok, nggo seneng – seneng wae, okh,” pria itu kini berkata padaku sambil meletakan tangan besarnya di atas pundakku yang terlihat begitu kontras.
“Aku ngerti, okh, ngene takfotoke! Kudune ki, Hana-chan radha mempet kowe sithik, loh!”
Kini aku berada di depan mereka dan bersiap menekan tombol capture di kamera yang kini ada di tanganku.
“One..two…three! Cheese!”
“Thank you, Abi, may I see?”
“Sure! Look at this, you look so kawai…! Want me to take once more?”
“Ah, thank you!”
“Look at me guys! One..two..three…!”
Aku melihat hasil fotonya,
“Kinda perfect match!”
“Ah, thank you, Abi! You are so kind!”
Aku hanya tersenyum, lalu mengajaknya masuk ke dalam museum mengikuti teman – teman yang lain dan mengikuti tour. Serasa samar – samar aku mendengar suara pemandu yang menjelaskan tiap detail batik yang kami lewati sampai memasuki ruang produksi dan aku hanya sibuk dengan pikiranku sambil sesekali mengamati pola batik yang terpampang di setiap sudut ruangan.
“Abi, could you help me bring my bag for a while?”
“Sure! I’ll take it. Wow, it’s so heavy!”
“Sorry, I bring a lot of stuffs there. Is it okay?”
“Fine, just go on!”
Aku memandanginya membayar setumpuk batik yang dipilihnya sebagai oleh – oleh. Tanda bukti bahwa dia telah menjejakkan kakinya di Indonesia, di Solo. Aku masih memasang lengkung manis ini di bibirku. Merasakan panasnya matahari ketika berpose memegang pangkal meriam menemani bunga cantik itu berfoto dan duduk di sebuah beranda klasik seolah bercengkerama dengannya mengambil bukti kehadiran kami dengan sebuah kamera digital.
“Minasan! We will have our lunch in this restaurant, please be careful when you cross the road,” pria itu berdiri di antara tempat duduk di bis, “…and sorry to speak in bahasa Indonesia, teman – teman Indonesia tolong partnernya dijaga. Langsung duduk dan ambil makan aja, semua sudah dipesan, ndak usah nunggu. Okay thanks every one!”
Aku cukup menikmati makan siang hari itu. Sejak kemarin siang aku tidak nafsu makan, baru saat itu aku mampu menghabiskan nasi di piringku. Hanya sesaat aku merasa pria itu menatapku beberapa kali sambil melirik setangkai bunga yang duduk di sebelahku. Cantik!
“Konichiwa!”
Aku kembali menatap cold ocha di mejaku. Menggoyangkannya beberapa kali, lalu sedikit meneguknya. Balok – balok es di dalamnya semakin mengecil. Meminumnya sedikit lagi lalu melirik jam silver yang melingkar di tangan kiriku. Hmmm…jam 11.45, masih lima belas menit lagi. Aku datang terlalu awal. Aku kembali menggoncangkan gelasku sambil memandang balok – balok es yang sudah kehilangan garis tegas rusuk – rusuknya. Tinggal setengah.
Mataku mulai mengarah ke seorang gadis di depanku, berkulit sawo matang dengan kaosnya yang berwarna merah terang, tengan memilih menu makan siangnya. Menyebutkan pesanannya sambil menatap buku menunya serius. Warna merah kaosnya yang pas badan dan sedikit memperlihatkan tulang selangkanya seolah bergerak, lalu membawaku melihat sosokku berjalan maju dan membawaku ke tumpukan batu – batu raksasa dengan reliefnya.
“Abi, are you okay?”
“Oh, fine. That’s okay!” jawabku sambil mengusap pergelangan kakiku yang bengkak dan membiru. Aku semalam kesleo. Sakit. “Thank you, Miho. You’re so kind.”
“No problem. Let’s take a picture, here! In front of this statue!”
Kami pun berfoto, mengabadikan moment panasnya Borobudur siang itu. Seraya mendengarkan tour guide di depanku dengan semangat menceritakan sejarah candi agung ini. Capingnya yang terlihat kontras dengan kaos birunya terlihat sangat melindungi wajahnya dari terpaan matahari yang menyengat. Puas mengitari artefak raksasa ini kami pun mulai berbalik dan menuruni tangganya.
“He?!?!” aku menatap ekspresi wajah putih Miho yang kaget dengan tatapan tidak suka, lalu mengarahkan pandanganku pada apa yang dilihatnya.
Pria itu. Dia kini memakai baju putih yang dipasangkan dengan jeans selututnya berjalan menuntun bunga cantil itu dengan anggun. Nampak seperti seorang pria berwibawa memberikan tangannya seolah mengajak berdansa, dan sang kekasih menyambutnya dengan anggun dan bangga. Melihat itu aku hanya tersenyum. Senyum yang sama yang aku bawa selama beberapa hari ini, namun mendadak rasa sakit di kakiku hilang sama sekali.
“Eh…Abi? I just…”
Aku tersenyum simpul. Seolah bertanya ada apa.
“You told me you wanted to go the toilet right? Let’s walk a bit faster.”
“But, are you okay? I mean, your leg and…”
“I’m definitely fine. Thank you, no need to worry.”
Kami berjalan sedikit lebih cepat. Aku menuruni tangga sambil sedikit menyibakkan kain yang disewakan untuk dipakai sebagai sarung selama di areal candi. Pria itu menoleh ke belakang dan refleks melepaskan tangan yang sedang digenggamnya. Berhenti berjalan dan menatapku canggung. Lalu dengan gaya yang sama dia menawarkan tangannya ke arahku yang berdiri satu anak tangga di atasnya.
“Sikilmu ora opo – opo? Ndak loro banget?”
“Can’t you see? I’m fine. I’m still alive. I can walk by myself. Excuse me, Sir, we’re a bit in hurry,” aku masih mempertahankan senyumku sambil menjawabnya sopan.
“Nok’e ojo ngono, to!” dia menyodorkan tangannya lebih dekat, “Yok, mbok, tibo.”
Aku menyambut tangannya dan menggenggamnya kencang, tanpa menatap wajahnya. Lalu berjalan menatap ke depan, melewati bunga cantik itu tanpa meliriknya. Sesaat kemudian aku menatap pria itu dan melepaskan tangannya begitu saja.
“Thank you!” jawabku dengan pelan dan dingin.
Aku membuka mata. Melihat ramainya Jogja dari dalam bis. Mulailah sore itu kakiku yang kembali terasa sakit kubawa berjalan menapaki Malioboro, dengan mempertahankan lengkung senyum di bibirku aku melihat setiap barang – barang yang terpajang. Menemani temanku membeli beberapa dress batik dan aksesoris. Hingga aku melihat pria itu lagi berjalan bersama bunga cantiknya, persis seperti sepasang kekasih yang anggun.
Semua berlalu begitu saja sampai aku kembali harus menyeret kakiku menuju tempat duduk VIP untuk menonton sendratari Ramayana di Prambanan. Malam mulai turun, angin semakin bergerak. Sial! Aku pergi tanpa membawa jaket dan sekarang aku kedinginan, ditambah lagi harus melihat pertunjukan yang telah tiga kali aku tonton. Oh, thanks God!
“Nok’e aku beliin kamu kopi, mau?” pria itu kini menjejeriku sambil membawa satu cup kopi panas.
Aku menerimanya. Dia meninggalkanku dan memilih duduk di deretan kursi belakang. Sekitar dua atau tiga deret di belakangku. Panas. Kopi ini panas. Aku meminumnya tanpa merasakan panasnya dan rasanya yang terlalu manis untukku. Aku tidak suka manis. Jarang menambahkan gula ke dalam cangkir kopiku.
Angin yang semakin dingin menamparku ketika mataku hampir terpejam di akhir pertunjukan. Kembali aku memainkan kamera digitalku, mengabadikan beberapa momen dengan aktor sendratari Ramayana. Lalu berjalan menuju bis untuk kembali ke Salatiga.
“… … …kimi to deatta kiseki ga kono mune ni ahureteru……sora mo toberu haz………”
Aku terjaga mendengar sebuah lagu yang disetel pelan dalam bis yang kami tumpangi. Mataku menjelajah jalan yang terlihat gelap dari balik kaca. Dingin. Aku masih merasakan hembusan AC di atas kepalaku, refleks aku berdiri menutup lubang AC, dan entah ada dorongan apa mataku menjelajah setiap jengkal bis dan aku tersenyum saat menatap ke belakang. Di sana di deretan belakang bis sebelah kiri, aku melihatnya lagi. Aku berjalan di antara bangku bis, menundukkan badan untuk mengambil sebotol air mineral di dekat pintu belakang bis dan sedikit melayangkan pandanganku ke deretan bangku belakang yang sebelah kiri itu. Lagi aku tersenyum. Pria itu terlelap dengan si bunga cantik bersandar di bahu kirinya, sementara tangan besarnya melingkar di pinggang bunga itu. Brengsek!
“………kimi to dea hastashii ega……sora mo tobero hazu………”
Aku melirik jam di tangan kiriku, sedikit memiringkannya ke arah cahaya.
“….nothing to do…no one but me, that’s all I need…” dering ponselku mengembalikan pikiranku kea lam nyata.
Jam 12.05, yang kutunggu menelepon.
“Hallo? Telat? Oh…”
“Sorry ya…kalau udah laper makan aja dulu!”
“Okay, santai aja kali! Aku makan dulu, ya?”
Pip.
“Mbak!”
“Hai, mau pesan sekarang?”
“Original ramen satu.”
“Hai, silakan tunggu.”
“Thank you!”
Aku memainkan ponsel di tanganku. Membuka tiap menunya dan memencet asal tiap tombolnya. Ponsel itu berputar – putar di tanganku, bergetar dan berbunyi.
“Jadi, sekarang akan jadi hari pertama kita bertemu dengan Japanese participants… ….”
“..nothing to do nowhere to be…simple little kind of free…”
“Ops, excuse me.”
Aku berjalan sedikit memisahkan diri dari rombongan.
“Halo?” lalu aku hanya terdiam dan mendengar kata – kata seseorang dari dalam ponselku. Suara pesawat yang baru lepas landas dari Ngurah Rai Airport ini menyadarkanku.
Air mataku menetes ketika mematikan ponsel.
“Kakek meninggal,” aku berbisik pada pria itu, dia yang sedang berdiri di antara teman – teman dengan T-shirt merahnya.
“Kamu, ndak apa – apa? Ayo kita meh makan malam dulu.”
“I’m fine.”
“Tenang, ya! Kita ndak bisa lagi berbuat apa – apa di sini, ndak mungkin mbalek juga, to?”
Aku hanya mengangguk.
“Aku meh ke toilet dulu.”
Aku mencuci mukaku di westafel dan menatap wajahku yang berantakan. Menarik nafas panjang dan tersenyum. Baru saja aku sampai di Bali, baru saja program ini akan dimulai, aku harus dihantam rasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang bahkan lebih berharga dari ayahku. Seseorang yang membuatku tumbuh dengan hati yang kuat dan mendengarkan setiap cerita tentang mimpi serta hari – hariku. Mentertawakan hal yang sama dengan apa yang aku tertawakan dan selalu mengajarkanku untuk menerima keadaan tanpa harus pasrah.
“..tok…tok…tok…”
Pintu toilet diketuk dari luar.
“Abi, kamu masih di dalam? Is everything okay?”
“Aku nggak apa – apa, Mas.”
“Kakekmu meninggal, ya? I’m really sorry. Kamu terlihat syok.”
“Thank you, but there’s nothing I can do about it, even too late to come back. I can only smile.”
Aku tersenyum, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Semangat, ya! Kamu nggak sendiri, kok!” sosok di depanku, dosen yang lebih seperti teman, itu kini berdiri di sisi kananku dan memegang pundakku.
“Thank you, Mas, harus semangat! Sudah ada di sini, harus jalan baik!”
“Ayo, senyum!” dia menggodaku dengan senyumnya yang manis, matanya yang tajam itu menatapku seolah menyeledik isi kepala dan hatiku.
Matahari hari pertama di Bali mulai bergerak ke barat, selesai sudah hari itu kami menjelajah sebagian kecil pulau dewata ini. Senja itu kami menikmati sejuk hembus angin di pantai Seminyak, berfoto, saling melempar pasir dan menikmati deburan ombak.
Crat!!!
Seseorang melemparku pasir basah, aku mengejar dan melemparnya balik sambil tertawa.
“Koko kena!” teriakku sambil tersenyum melewati pria itu yang mendadak bersikap seolah tidak mengenalku. Aku hanya tersenyum menatap laut. Sore itu berlalu begitu saja.
“Ayo keluar, cari bir! Nyobain kafe di depan – depan itu, loh!”
“Ayo, Mas!” Koko menyambut ajakan leader sekaligus dosenku itu seusai briefing malam itu.
“Abi, ayo ikut!”
“Nggak, deh, Mas! Bisa mabok aku.”
“Y owes…ayo, Ko!”
“Ah, aku pengen, ekh!” pria itu berseru dari balik laptopnya, “Tapi ngko wae lah.”
“Disitan, ya!” Koko pergi sambil menutup pintu kamar.
Aku terdiam, kehilangan lengkungan yang kupasang di bibirku sepanjang hari ini, tanganku memainkan ponsel dan mataku menatap Mbak Asih yang duduk di sofa tepat di depan tempat tidur yang kududuki sambil memainkan Blackberry-nya. Sementara Yas masih asyik dengan laman face book yang ada di laptopnya. Menengkurapkan tubuhnya di sebelahku dan mulai memutar lagu – lagu mellow kenangannya. Pria itu? Huh, masih telanjang dada dengan laptop dan segelas air di sebelahnya. Muak aku melihat tubuh hitamnya.
Aku masih duduk hampir menangis, mengingat hari itu kakek dimakamkan sementara aku tidak ada di rumah.
“Nok’e, kamu kenapa?” pria itu duduk menjejeriku, spontan aku bergeser.
“Mbak Asih, ayo kita jalan, yuk!” Yas berseru.
“Kemana?” pria itu, entah bodoh atau idiot, langsung tertarik mendengar seruan Yas, persis anak lima tahun yang menemukan mainan baru.
“Cari angin, susul Koko sama mas Chris. Ayo cepat!” aku tahu Yas melirikku, dia bermaksud baik. Memberiku waktu sendiri. Aku belum bisa kembali ke kamarku karena kamarku masih terkunci, kuncinya dibawa oleh partnerku.
“Kalian mau kemana, ekh? Aku ikut ya!” perhatian pria itu beralih dengan cepat.
Aku terdiam di kamar yang sunyi. Memainkan remote TV yang entah sudah berapa kali aku pencet. Membuka isi kulkas, meneguk sebotol coke dingin. Aku menatap diriku di cermin. Bodoh! Sejak kapan aku tergantung dengan seseorang? Aku merasa sangat bodoh. Aku memang sedih atas sesuatu yang tidak bisa kuubah dan aku sesalkan, tetapi aku tahu seberapa aku kuat. Bukan senyuman professional yang menunjukkan aku kuat, bukan air mata yang tertahan yang menggambarkan kemampuanku menahan duka. Aku tahu aku kuat, karena aku bisa melewati segala yang berat tanpa terjatuh.
Aku termeneung memandang lampu di samping tempat tidur yang kududuki, warnanya kuning redup tertutupi kap fiber berwarna putih susu. Bias cahayanya terlihat seperti elemen – elemen cahaya redup kekuningan yang tertangkap lensa kamera melingkari fokus utama di tengahnya. Aku masih memandangi cahaya itu, mataku terasa sejuk menatap lampu yang redup, cahaya itu semakin kabur. Dia membawaku ke cahaya matahari siang yang terik diantara daun – daun hijau pohon di depan Katsu Tei tempatku duduk. Aku terhenyak, baru saja aku kembali kekenyataan. Pada saat itu pelayanan tempat makan itu membawakan ramen pesananku. Aku mulai menikmati ramen di hadapanku sambil tersenyum. Bodohnya diriku.
Aku menikmati semangkuk ramen di siang yang panas itu. Rasanya yang khas menusuk lidahku, aroma ikan merasuki rongga hidungku menjalar ke dalam dan melekat bahkan uapnya sudah tak menyentuh ujung hidungku lagi. Aroma ikan itu masih menusuk, sampai membawaku ke masa lalu di tempat ini. Samar aku melihat pria itu duduk di depanku, sambil memainkan Blackberry barunya. Dasar anak kecil! Kalau sudah menemukan mainan baru, dunia serasa jadi milik sendiri. Bodoh!
“So, I just wanna listen to your speech as I texted you before, sir!” aku mendengar suara bergaung pelan di udara yang panas itu.
“Opo, to? Aku ndak ngerti kamu mau ngomong apa?”
“Okay, I’ll make it easier for you. Where’s your ring?”
“Oh, ini ketinggalan di Solo.”
“Kok, bisa? Barang kesayangan yang kadang lupa mbok lepas kalau mandi atau tidur ketinggalan?”
“Kemarin itu, to, agak repot di rumah. Lebaran gini mbak’e libur, yo aku bantu – bantu ibu.”
“Mbok copot?”
“Iya, to.”
“Sampai ndak mbok pakai lagi, waktu kemarin pergi ke Jogja sama mas Dan dan Koko?”
“Kemarin aku balik Salatiga buru – buru, Nok’e, sampai lupa ndak takpake lagi. Kamu kenapa, to?” wajahnya sedikit gusar.
“Ndak apa – apa, kok! Ya sudah, kapan kamu pulang Solo? Mbok pakai lagi, ya, cincinnya,” aku tersenyum simpul.
“Cuma masalah cincin wae, kok, ya repot banget!”
“Repot, to! Lah wong cincinnya sudah terbang ke Jepang, okh!”
“Ndak, Nok’e, di Solo. Kok, isa tekan Jepang mbarang, ikh, loh?” dia setengah marah.
“Nek ketinggalan di Solo, berarti baru tiga hari, ya, kamu ndak pake cincin?”
“Ngopo to?”
“Harusnya belang cincin di jarimu ini masih tajam,” aku meraih tangannya, “Kamu pakai cincin itu lebih dari setahun dan nggak pernah melepasnya, untuk menghilangkan lingkaran putih di jarimu ini, ya, butuh waktu minimal seminggu tinggal di tempat yang panas. Saben dino panasan, yo! Itu pun belum tentu hilang, kayak bekas jam di tanganku ini.”
“Kok, kamu ngomong gitu?” matanya terbelalak.
“Do please attention on detail when you are lying! I know what you were doing behind me, not merely behind me, in front of me sometimes. I can’t believe that your pretty Hana-can kept flattering you and me, saying how sweet we were while she had been your girl behind me. Was she losing her mid?” aku berkata dengan santai.
“Nok’e?”
“Lah, kamu disuruh ngaku wae susah! Aku ndak marah kalau kamu pacaran sama ndekne, aku cuma marah gara – gara cincinmu mbok kasih ke dia. Kamu selalu berlebihan membanggakan barang kesayanganmu, katamu ndak bakal mbok kasih ke orang, takbuat mainan sedikit wae kamu marah. Kamu kasar sama aku! Lah, malah mbokkasihke orang yang baru mbok kenal. Mau jadi sok manis? Sok jatuh cinta? Oya, dimana kancing bajumu? Mbok kasihke Koala kesayanganmu? Baru kenal wae sudah punya nama sayang. Sudah, ndak perlu dijawab, kamu cuma mau bilang dia itu kayak adekmu, to?”
“Maaf,” dia tak berani menatapku. Matanya berkaca – kaca. Dasar, bodoh! Idiot macam apa? Masih bisa menangis? Aku tersenyum simpul dan santai.
“That’s okay! I’m fine,” aku masih tenang. Aku memang tidak marah, aku cukup pintar untuk memilih objek kemarahan.
“Waktu itu aku ngobrol sama Hana-chan, terus, ya intinya jadi kebablasan. Aku ndak sengaja nembak.”
Aku tertawa, benar – benar tertawa. Lelucon macam apa ini? Mungkin, aku juga tidak sengaja dekat dengan pria itu. Khilaf! Aku merasa begitu bodoh karena meladeni orang bodoh. Aku hanya mendengarkan celotehnya yang memaki diri sendiri sambil menikmati makan siangku dengan santai seolah menonton stand up comedy yang begitu lucu namun tak mampu membuatku tertawa. Iya, iya, kamu memang bodoh!
“Aku memang orang yang tidak bisa berkomitmen.”
“Sssst…sudah..sudah…nggak apa – apa. Aku, kan, nggak marah. Aku hanya tidak suka kamu bohong. Sudah, aku nggak suka orang yang suka maki – maki. Oya, aku juga ingin kamu tahu, kamu adalah orang yang berkomitmen untuk tidak bisa berkomitmen.”
Kami terdiam.
Aku menghabiskan makan siangku dan aku melihat sesosok gadis berambut hitam lurus dengan T-shirt pink menghampiriku. Oh, aku sudah kembali ke kenyataan.
“Aduh, sorry, ban motorku kempes. Udah makan?”
“Nggak apa – apa, santai saja! Sudah, kok, kamu pesan saja sekarang.”
Dia memanggil pelayan dan mulai memesan makanan.
“Okay, jadi gimana ceritanya? Kamu, kok, bego banget, sih, bisa sabar gitu? Dia tertawa lepas.
“Jadi, mau mbahas laporan atau nggosip?
“Dua – duanya boleh. Anyway, dia cantik?"
"Cantik. Cantik itu mbenerin bedak setiap sepuluh menit, mbenerin lipstik, liat kaca tiap detik dan takut kepanasan. Susah hidup."
"Hahahaha...gila, lo!"