turn the music on ! : )

Monday, December 26, 2011

Mengikat Bayangan


Aku memiliki sebuah bayangan yang aneh. Ia selalu berkata bahwa ia ingin pergi ke suatu tempat, mencoba menjauh dariku. Sudah berulang kali aku berkata ia tidak akan pernah bisa pergi sendiri tanpa kubawa, ia selalu jengkel dengan jawabanku. Ia sangat berbeda dengan bayangan orang lain yang dengan sukarela menerima kenyataan bahwa sebuah bayangan selalu terikat di kaki sang pemilik. Bayanganku menghabiskan hari  - harinya untuk mencoba melepas ikatan di kakinya untuk mejauh dariku.
“Kamu itu bodoh!” kataku suatu hari padanya, “Kamu hanyalah sebuah bayangan, sesuatu yang terbentuk karena segurat cahaya menerpaku dan tak mampu menembus tubuhku sehingga sesisi gelap muncul di lantai menyerupai diriku. Kamu hanya sebatas itu!”
“Kamu yang kejam! Berani – beraninya kamu menahanku pergi!”
Aku kehabisan kata menghadapinya. Ia enar – benar tercipta untuk menjadi sosok yang sangat bodoh. Tolol! Aku putus asa mengaturnya. Aku membiarkannya berusaha pergi, tidak menggubris setiap usahanya untuk berhenti mengikutiku.
Suatu hari aku bertanya mengapa dia begitu ingin pergi, kemana ia akan berjalan, dan apa yang ia cari. Aku terkejut seolah dunia berhenti berputar dan waktuku untuk bernafas telah habis saat mendengar ia berkata,
“Kamu tidak mengerti. Aku tengah jatuh cinta.”
Sebuah bayangan bisa jatuh cinta? Aku betul – betul tidak mengerti. Sepertinya aku sedang berwisata ke negeri dongeng dimana hal tak masuk akal bisa saja terjadi. Aku mencoba mencerna kenyataan ini dan mulai bertanya kepada siapa ia jatuh cinta.
“Aku mengikutimu, aku tidak pernah sadar seseorang itu begitu menarik. Sampai suatu hari bayangannya menimpa tubuhku saat kalian duduk berdua di pinggir jalan, dan bayangannya tersenyum menyapaku.”
Aku masih menyimaknya berkata – kata.
“Tapi, kamu begitu kejam! Kenapa kamu menyuruhnya duduk di hadapanmu? Bayangannya begitu setia, ia pun mengikuti tuannya dan beralih ke belakang tuannya. Sebuah tempat dimana dia memudar dan bahkan aku tak dapat lagi menatapnya.”
“Itu bukan salahku. Kamulah yang bodoh! Semua bayangan seharusnya memang begitu.”
“Tidak ada sebuah hukum yang mengharuskan kami harus demikian!”
“Hukum alam tetap berlaku.”
“Kamu, bahkan lebih kejam dari yang kukira!”
“Jika kamu tahu, aku memang kejam dan begitu ingin membunuhmu, bayangan!”
“Bunuhlah, kamu hanya akan mati bersamaku.”
Kami terdiam.
“Mengapa kamu tak menghampirinya saat itu? Mungkin itu saat terakhir kamu bisa menemuinya,” bayanganku berkata lagi.
“Kapan?”
“Saat kamu melihatnya duduk di sebuah bangku merah, di belakang kaca pembatas ruangan. Kamu melihatnya dengan jelas, dan kamu hanya tersenyum saja tanpa menghampirinya.”
“Oh..itu bukan urusanmu!”
“Hey, bodoh! Kamu pasti tidak berani, ya? Dan kini kamu menyesalinya. Habislah kamu!”
Aku tersenyum kecut mengingat sesosok pemuda berkacamata yang mengenakan kemeja biru tua senja itu. Sedikit menyesal, tetapi lupakanlah. Ada saat dimana aku tak perlu bertindak bodoh. Siapa dia? Siapa aku? Sama sekali tidak ada hubungan untuk membentuk sebuah kata, menyesal.
Seperti sebuah bola kristal yang terlihat bulat sempurna dari kejauhan, sebenarnya memiliki seribu sudut tajam ketika didekati. Begitulah aku dan dia. Sial, hanya dua atau tiga sisi saja yang bisa bertemu tanpa harus pecah diantara bolanya dan bolaku. Tak peduli seberapa cantik ia, tetap saja ia tidak akan dapat berputar bersamaku.
Bayanganku masih ngotot ingin pergi menghampiri bayangan pemuda itu. Aku lelah menasehatinya setiap hari, aku juga sudah lelah memaki – maki kebodohannya. Aku berkata kepadanya,
“Kamu, tahu? Bayangannya sebenarnya sangat membencimu.”
Dia tidak pernah percaya. Aku habis akal. Cinta kadang – kadang bisa menjadi sangat kuat, ia mampu menelan logika dan merusak otak, termasuk jika cinta itu jatuh pada sebuah bayangan. Aku benar – benar tak mengerti.
“Hey, kejam! Kamu hanya takut aku jadi lebih bahagia dibanding kamu, kan? Kamu hanya tidak pernah mencintai seseorang sepenuh hati,” bayangan itu menyeringai kepadaku.
“Apa kamu lupa ingatan? Aku pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Hanya hati kadang tak bisa berhati – hati, tidak bisa ditebak. Hatinya. Hatiku juga. Belum saatnya aku bermain lagi dengan hatiku. Hampir aku memberi, tapi aku urungkan saja.”
“Karena kamu sudah tak punya hati, kan?” katanya tajam. Sinis.
“Karena aku tak pernah setengah hati. Perlu berpikir sebelum memberi hati.”
Bayanganku masih berusaha melepaskan ikatan di kakinya. Terakhir aku melihatnya berusaha memotong kakinya sendiri, tetapi semua sia – sia. Kakinya tak pernah bisa terluka, apalagi terpotong.
Ia terus saja bergerak, sampai suatu hari aku menjadi terganggu dan sangat marah. Aku membungkam mulutnya, dan mengikat tangannya sampai ia tak bisa bergerak. Katanya aku kejam, baiklah aku akan jadi kejam. Sekarang aku menghabiskan waktuku untuk berusaha membunuhnya. 

 Dhenok.P, #Purbalingga, 11.42 a.m, December 27, 2011

Kopi dan Kunang – Kunang


Aku suka kopi. Aku suka warnanya yang hitam pekat, tidak abu – abu, jelas, tidak setengah – setengah. Aku suka aromanya yang khas, harum, dan memberi sebuah ketenangan tiap kali kuhirup diantara uapnya yang melayang di udara, uap panasnya yang terlihat samar – samar, yang semakin indah saat cangkirnya ku taruh di bawah lampu temaram diantara suara musik yang terdengar halus dan santai selayaknya orang berbincang dengan nada. Aku suka ketika kafein hitam itu saat ia terasa murni, tanpa pemanis, sedikit pahit dengan ampas yang tersaring. Rasanya seperti berjalan sendiri di tepian jalan kota tua tanpa seorangpun mengganggu, tanpa perlu berpikir harus menyapa dan bertanya. Aku benar – benar jatuh cinta padanya.
Aku membawa sebuah cangkir putih ke teras depan rumahku. Masih gerimis, udara dingin menusuk, jalanan terlihat lengang dari balik pagar besi yang membentengi taman sederhana di hadapan teras panggung tempat aku duduk di atas kursi keramik. Uap dari cangkir itu mengenai wajahku. Aku menghirupnya, dan meminum sedikit kopi itu. Panas.
Mataku memandang sebatang pohon kelengkeng yang tidak terlalu besar di hadapanku. Kedua bolanya yang besar menemukan setitik cahaya kuning diantara daun – daun yang basah terterpa gerimis membawa aroma khas pedesaan di kala senja. Cahaya kuning itu begitu kecil dan terus bergerak. Kunang – kunang.
“Itu kukunya orang mati, loh!”
Aku mendengar celoteh seorang anak kecil dalam memori otakku yang terputar mundur. Seorang anak perempuan kecil tengah bermain bersamaku di pinggir sawah senja itu, di sebuah kompleks perumahan yang hanya beberapa blok dari rumah masa kecilku dulu.
Aku tersenyum. Menghirup uap kopi yang mulai menghangat di cangkir putih yang tangan kiriku genggam. Aku masih saja menyukai kunang – kunang. Ajaib sekali, serangga itu mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Indah. Aku terus mengagumi kunang – kunang itu. Aneh, ada seekor kunang – kunang mendadak muncul di halaman rumahku yang tidak terlalu dekat dengan sawah. Setahuku kunang – kunang itu selalu ada di sawah, diantara padi – padi yang mulai menguning dan entah dari mana datangnya, mungkin memang benar – benar kuku orang mati.
Aku meneguk kopiku sambil tersenyum memikirkanmu. Mungkin aku harus mati dulu untuk bisa menyentuh pipimu. Karena kamu tidak seperti kopi yang tajam, kamu nyata hanya saja tidak dapat aku sentuh apalagi aku hirup. Kamu memberiku ketenangan, hanya saja kamu tidak cukup hangat memberikan tanganmu padaku. Kamu memang berbeda dengan kopi, kamu kadang membuatku gugup dan terlalu banyak berkata – kata, sementara kopi membuatku banyak diam dan menikmatimu.
Ketika aku mati mungkin sebagian kuku tanganku akan terbang menjadi kunang – kunang. Ia akan terbang menemukanmu tertidur tengah malam, masuk perlahan dan hinggap di pipimu. Begitulah caraku menyentuhmu.
Ia akan terbang di atas kepalamu dan mendengarkanmu bernyanyi. Melantunkan kata – kata yang kau nyanyikan bersama petikan senar – senar gitar yang dengan setia kau peluk. Menunggumu sampai kau tertidur dan kembali hinggap di pipimu, tanpa kata, tanpa suara, ia mengepakan sayap kecilnya perlahan dan meredupkan cahayanya agar matamu tak terbuka. Ia takut kau terbangun dan menangkapmu saat kau terjaga. Hanya sesaat ia akan hinggap di pipimu, begitulah aku menyentuh wajahmu lembut dan menatapmu yang tengah tertidur.
Terus demikian sampai suatu hari kukumu yang indahpun akan menjadi kunang – kunang.
Aku tersenyum. Bodoh!
Aku meneguk kopiku dan meminumnya sampai habis. 

Dhenok. P, #Purbalingga, 06.45 pm, December 26, 2011

Friday, December 16, 2011

INSOMNIA


Nggak masuk akal, di kamar yang kayak gini aku nggak bisa tidur :p

Salah satu hal yang paling aku benci adalah INSOMNIA, khususnya buat seorang penikmat tidur sejati kayak aku. Ini barang satu bisa bikin sakit kepala, sakit hati, sakit punggung, bahkan sakit jantung! Dan nggak tahu entah berkaitan dari mana, kalau nggak tidur malam rasanya juga nggak nafsu makan besok harinya..parah! Bisa tambah kurus aku, nanti dikira penderita gizi buruk. Mending ada yang nyumbang, malah semua temenku pada girang dapet bahan ledekan baru!
Akhirnya setelah empat hari hampir nggak tidur, aku putus asa. Keluar kamar kost, terus ambil pisau, buka kulkas, nyalain kompor dan bikin susu. Pisaunya dipakai buat ngaduk karena semua sendok kotor, dingin banget mau nyuci lewat tengah malem gini. Yang ada aku malah jadi kepikiran film horror yang judulnya 12 a.m, kalau setannya nongol waktu aku nyuci gimana? Siapa yang tanggung jawab?
Masih nggak bisa tidur aku memutuskan untuk nonton TV. Waktu mau nonton ternyata kursi yang biasa buat duduk masih ketinggalan di balkon. Hehehe…lupa, tadi siang dipakai buat sun bathing! Aku buka pintu…ciiiittt…suaranya berdecit lirih, terus pelan – pelan ngelepas kursi plastik warna putih yang sudah tertumpuk. Susah! Sudah, deh, nyerah! Nggak perlu pelan – pelan, kalau anak kost pada bangun, ya sukurin aja! :p
Kursi itu aku bawa ke depan TV, aku pencet tombol merah di remote buat nyalain TV dan aku baru inget kalau TV ini agak rewel. Jurus pukulan sekuat tenaga aku arahkan ke atas TV sampai bikin Nona (temen kost) bangun. Terus tanya, “Kamu lagi ngapain?”
Aku manyum aja sambil bilang, nonton TV dan nggak bisa tidur. Eh, dia malah ngakak, katanya tampangku lucu. Nggak ngerti, deh, apanya yang lucu dari tampang penuh penderitaanku ini. Ngeselin! Mana TVnya buram lagi, gambarnya jadi warna ungu semua. Karuan aku suka ungu! Tapi nggak segitunya juga kaleeeee…………
Kesel setengah hidup pokoknya, padahal sudah hampir dua jam lalu aku berjuang buat tidur. Terus waktu lagi mulai ngantuk ada SMS dari Simon (temen gereja, yang lucu dan suka berburu) bilang: “Ayo bobo!” jiah, SMS ini malah bikin melek. Sudah nggak diharapkan (aku kan ngarep orang laen yang SMS), bikin HP bunyi lagi. :’(
Aku balas saja, aku nggak bisa bobo. Terus dia malah SMS lagi nyuruh aku mbayangin besok pagi bangun jam 5 terus jalan – jalan beli bubur ayam di sekitar Jensud. Sugesti apaan ni? Mentang – mentang anak psikologi seenaknya punya cara buat memotivasiku tidur cepet, yang ada aku malah jadi laper! Padahal nggak punya cadangan makanan di kost, pintu gerbang sudah dikunci, satu – satunya buah yang ada di kulkas cuma lemon.
Aku mencoba tenang, terus tiduran di kamar Nona, dia nyuruh aku baca buku biar ngantuk. Haduh, nggak deh! Aku sudah berpengalaman, dulu waktu aku nggak bisa tidur aku baca The Da Vinci Code yang ada bukan ngantuk, tapi otak jadi muter, mata melek dan ngabisin ratusan lembar buku itu sampai subuh dan besoknya hampir ketiduran waktu tes jam 9 pagi. Dasar ni si Nona, makin girang dan malah nyuruh aku baca buku yang lucu. Denger kata lucu aku langsung kebayang buku Marmut Merah Jambunya Raditya Dika, jadi ngakak dan tambah melek! Sial banget! Terus tahu – tahu Nona ngakak sambil pegang buku tipis warna ijo dengan tulisan How to Develop a Good Portfolio di atasnya. Enek banget liat buku yang bikin aku menderita dua minggu terakhir ini!
Aku tiduran di kamar Nona sambil cerita – cerita nggak penting, biasalah girl talk! Hehehe…malah tambah ngakak! Akhirnya aku memutuskan cara lama : Menghitung Domba biar ngantuk. Sial banget, ternyata sprei Nona malah bergambar domba, Shaun Sheep, aku malah geli sendiri mbayangin domba di seprei bergerak lompat – lompat nggak karuan. Serem banget! Lebih serem dari suster ngesot apa lagi pocong!
Aha! Ada lampu di atas kepalaku nyala…wahahaha, sekarang aku bisa hemat listrik, minimal lampu di kepalaku ini bisa dipakai. Lah, kalau mandi gimana? Bise njeblug kena air, dong? Jadi segera aku copot lampu yang nongol di kepalaku, terus aku simpen di laci. Lumayan, kalau lampu kamar mati bisa dipakai. Kalau ada maling bisa juga dipakai buat ngelemparin.
Aku tiba – tiba ingat Itok (temen, belum lama kenal, tapi asyik, nyambung, yang paling penting dia pakai kaca mata) yang kadang – kadang aku panggil Itog itu. Biasanya kan dia bobo malam, terus aku coba cara ajaib yang malam kemarin dia kasih tahu ke aku: pejamkan mata tarik nafas dalam, tahan beberapa detik, terus dikeluarkan pelan – pelan biar relaks. Moga – moga bisa bobo. :)
Waktu lagi nyoba aku malah lupa, berapa detik harus nahan napas. Aku tahan napas selama mungkin, anggap saja lagi menyelam di Samudra Pasifik. Hampir semenit, udah nggak kuat. Nyerah, deh, aku megap – megap berharap nggak tenggelam di Samudra Pasifik, kalaupun tenggelam semoga saja ada dua ekor penyu yang membawaku kembali ke darat kayak di Pirates of the Caribbean itu. Nggak kuat, aku nyerah. Aku melambaikan tangan tanda sudah nggak tahan, bener – bener persis uji nyali. Gorden gerak – gerak sendiri dan ada musik tembang kenangan sayup – sayup terdengar.
Aku SMS Itok, tanya dia sudah bobo apa belum (so sweet :p) sambil protes karena resepnya nggak manjur. Dengan kalimat akhir, kalau sudah bobo bangun dong! Kesel banget, kayaknya Itok mau membunuhku pelan – pelan dengan ngasih tips itu. Nggak mungkin, kan kalau aku yang bego waktu praktek? Kejam! Aku memutuskan untuk ngambek sama dia, tapi maunya tetep temenan. Kan aku yang ngambek, jadi biar kayak di FTV gitu. Aku ngambek, dianya cuek, terus besok harinya aku lewat di depan dia dengan cuek dan setelah satu meter di hadapannya aku menatap matanya tajam, agak jinjit (entah aku yang pendek, apa dia yang tinggi badannya normal) terus menatap matanya lebih tajam, mendekat dan narik kelopak mata kananku pakai jari dan melet…weeeeeekkkkk :p (ini FTV mana, ya?)
Nona, malah ngakak! Dan ngatain aku gila dengan mukanya yang sudah berantakan, mata kanan kiri beda, hidungnya pindah tempat, rambutnya jadi kribo, bibirnya pandah di jidat, dan pipi kanan kiri yang kebalik. Aduh, horror banget! Kayaknya aura kamarnya nggak bagus deh, jadi aku paksa dia bobo di kamarku yang beraroma khas melati, dan hawa dingin menusuk (dukun).
Oh, iya…hampir lupa! Nona, punya tips pengantar tidur yang dia dapat waktu nonton BBC: jalan mondar – mandir di kamar, biar capek terus ngantuk. Lah, kalau cuma biar capek mending beres – beres, ngepel, nyetrika, benerin genteng, atau ngelepasin keramik kamar mandi! Nggak beres, deh itu tips satu.
Karena putus asa aku memutuskan begadang dengan sukarela dan nulis cerita gila ini.
TAMAT
jam 2.06 am

Thursday, December 15, 2011

Aku Ini



Aku memang punya sebuah cita – cita yang paling tidak menerutku itu cukup tinggi. Aku bukan seorang perempuan yang ingin menjadi “penjaga rumah”, bukan karena aku tidak suka, hanya saja aku mudah bosan tanpa adanya suatu aktifitas yang menantang. Aku tidak ingin mengejar karir, aku hanya ingin apa yang aku punya berkembang dengan baik. Itu sudah cukup.
Mungkin aku terlihat bersamangat dan ambisius, itu hanya karena aku begitu tertarik untuk mengejar mimpiku dan belum ada hati yang tertambat dalam hidupku. Mungkin juga karena aku dibesarkan oleh seorang ibu yang menurutku begitu pintar, sibuk, tetapi tidak membiarkanku bermain sendiri dan kesepian, sehingga aku tampak menyukai kesibukan.
Beberapa orang mulai berkata, “Kamu terlalu sulit untuk dimiliki.” Dan aku hanya tersenyum. Aku memang bukan sesuatu untuk dimiliki, aku ini seseorang yang lebih suka mempunyai seseorang lain yang bisa didukung dan mendukung. Karena saat itu, orang itu akan melihat bagaimana aku bisa berdiri di sampingnya, kadang pun di belakangnya. Aku tidak tahu sejauh mana aku bisa jadi penolong, yang aku tahu seorang penolong itu harus cukup kuat untuk berdiri sendiri karena suatu saat teman hidupnya membutuhkan tangannya untuk menuntun, atau paling tidak menemaninya berjalan.
Kadang aku begitu takut untuk member hati. Hatiku ini aneh, sedikit gila. Ketika kuberikan, dia akan seutuhnya aku berikan, tapi ketika tidak dipelihara dia bisa saja menghilang. Sungguh mengerikan!
Apapun itu, aku tidak perlu ditaklukan, karena itu tidak mungkin. Aku akan member hatiku tanpa perlu ditaklukan, kadang aku hanya ingin sedikit melihat seberapa jauh seseorang menginginkannya dan mencoba memakai logika dalam menjatuhkan hatiku.
Sebuah cita – citaku tak mengapa jika tidak sepenuhnya tercapai, aku tahu aku beruntung jika Tuhan menempatkan aku di tempat yang aku inginkan, tapi aku pun ingin membuat tempat dimana Tuhan membuang aku beruntung karena mendapatkan aku di situ.
Satu mimpi yang harus tercapai: I wanna be a good mother and give my kids a hero daddy

* ???


Di postingan ini aku agak bingung mau ngomongin apa? #galau
Tapi, kayaknya lagi kepengin ngomongin cinta. Satu hal yang membuat hidup kita lebih berwarna, lebih gila, dan kadang agak lebay. Semua itu sudah terbukti, ya, pokoknya akhir – akhir ini aku lagi sering denger orang curhat; ada yang jatuh cinta, patah hati, terpesona, sampai yang ngebet kepengin banget jatuh cinta. Pokonya maksa banget! Lho? Kalau aku sendiri? Maaf, ya..aku, sih, kalem aja…santai…kalaupun jatuh cinta, ya sudah…pasrah…berserah… :p
Satu hal yang dari dulu nggak pernah bisa aku ngerti kenapa ada ungkapan JATUH CINTA? Kenapa nggak TERBANG cinta, kesandung cinta, terjebak cinta, tidur cinta..makan cinta…apa saja yang penting jangan jatuh…di bahasa Inggris juga begitu, FALLING in love…kenapa nggak FLYING in love, DYING in love atau PLAYING in love (nakal!)..apa saja yang penting jangan FALLING…
Ya, mungkin kayak lagunya Ipang yang judulnya Cinta Baru itu. Katanya cinta datang tiba – tiba nggak perlu pakai rencana sama kayak orang jatuh. Nggak bisa direncakan, mau jatuh di tikungan dengan gaya jungkir balik biar keren apa mau jatuh dari tangga sambil bawa setumpuk buku berat biar kelihatan seksi kaya di TV gitu. Hahaha… bisa juga karena jatuh itu sakiiiiiiiiiiitttttttttt…ngaku aja buat yang pernah patah hati apa lagi kalau sampai langganan, patah hati tiap Januari biar ada lagunya..enak nggak, tuh? Ya, kira – kira rasanya kayak setengah mati. Mati yang setengah – setengah, tapi nggak apa – apa semua itu tetap manis, kok! Apa, sih, yang nggak buat kamu, bub? :-*
Ada banyak hal bodoh yang manis, misalnya kayak di video klip korea (aku lupa judulnya). Si cowok dengan semangat penuh (bukan 45 loh, kan Korea!) datang menjemput pacarnya yang nunggu di depan toko. Hujan – hujan. Pasti dingin. Aku pikir si Cowok itu pinter banget, dia bawa dua payung loh. Bener, deh, di klip itu hujan deras banget kalau satu payung berdua bakal tetap kehujanan nanti bisa flu, malah batal shooting kan repot! Lah, ceweknya malah ngambek payungnya dibuang ke tempat sampah, aduh, sayang banget pokoknya! Untung warnanya pink, jadi aku nggak terlalu nyesel. : ) terus cowoknya ngejar – ngejar gitu, basah juga, deh akhirnya…lucu deh…tapi manis juga.
Ada lagi yang nyanyi – nyanyi katanya kalau jatuh cinta dunia terasa melayang bahkan serasa matahari mendekat dan memeluknya.  Aduh! Serem banget, deh! Aku jadi trauma mendalam, cuma denger lagu itu saja sudah bikin imajinasi mengerikan kayak di film Amrmagedon atau film – film hari kiamat yang mataharinya datang ke bumi. Oh no!!! Nggak siap mental pokonya! Kalau jatuh cinta nanti kamu bisa mati kebakar matahari, kulit gosong, rambut keriting…masih untung kalau curly nya bagus, kaya di salon – salon gitu, kan bisa gaya! Ini pasti keriting kayak di film – film yang ada orang kesetrum sampai gosong. Hmm…kayaknya aku kebanyakan nonton fil, deh!
Banyak juga cowok yang grogi waktu nembak cewek, jangankan nembak mau kenalan aja mesti berdoa puasa, mandi kembang tujuh rupa (biar wangi), parahnya persiapan itu sama sekali nggak ngefek karena waktu beraksi dia gemetaran, tangan dingin, lutut lemas, muka pucat, asam lambung naik. Serem banget, kayak mau dihukum gantung! Heran, deh! Emang cewek tu serem banget, ya, sampai bisa bikin gitu? Dahsyat abis!!!! Buat cowok – cowok, boleh tenang! Percaya nggak percaya cewek itu sebenarnya juga grogi, kayak orang nahan pipis, dan meringis – meringis nggak jelas (pengakuan dosa) hanya saja pinter jaim. Apa lagi kalau udah diajak kenalan dan menjawab, “Maaf kamu siapa, ya?” wkwkwkwk Sukurin, lo!
Nah, kalau kamu mau nembak cewek gimana carany? Ini ada tips dari dosenku tercinta:
Cowok             : (datang ke ceweknya dengan cool dan santai, cuek saja seolah – olah mau beli makan di warung langganan) “I love you!”
Cewek             : (pasti syok)
Cowok             : “Any question? Call me!” (terus pergi kayak jagoan – jagoan di film ultraman, yang berjalan lurus dengan cool tanpa menoleh monster di belakangnya yang tumbang.
Buat kamu yang mau praktek boleh banget, tapi sangat disarankan buat ngasih no HP sebelumny. Paling nggak kalian harus deket dulu, ya, pura – pura deket saja kalau nggak deket – deket juga. Hajar, bro!
Ada lagi yang lucu, waktu itu ada sesosok laki – laki yang mengaku tidak merasa jatuh cinta, tapi dia nembak seorang cewek (ya, iyalah…dia kan nggak homo!) dan membuat pengakuan dosa, “Aku nembak dia tu NGGAK SENGAJA!” dengan penuh penyesalan dan ratap tangis kayak ditinggal mati sama anjing kesayangan. Gubrak!!!! Bumi secara gonjang – ganjing, bulan menimpa bumi ketilem di Samudera Pasifik dan matahari berhenti bersinar saking syoknya mendengar pengakuan itu. Aku nggak bisa mbayangin, deh (-.-!). Ya, mungkin aku termasuk golongan orang yang logikanya agak macet jadi nggak bisa memproses pengakuan dosa itu sebagai hal yang masuk akal, yang ada aku cuma nahan diri biar nggak ngakak. Coba bayangin:
Situasi            : mereka berdua malam itu tengah berada di sebuah tempat yang remang – remang menjelang tengah malam (jangan mikir macem – macem! Mereka Cuma duduk saja, kok!)
Cowok             : “Ih, kamu lucu banget, deh!”
Cewek             : “Kamu juga, loh!”
Cowok             : “Kok, bisa?”
Cewek             : “Gedhe! Kayak beruang bengkak terus kedinginan di kutub utara, habis itu kepanggang sampai gosong. Gemes, deh! (ceweknya gila!)
Cowok             : “Hahahahaha..bisa saja! (lagi terbawa suasana suka, jadi nggak nyadar kalau dihina). Eh, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Cewek             : “Wow? Ya, sudah boleh, deh! (pasrah, inonsen)
Cowok             : (tiba – tiba nyesel, ngapain nembak dia) “Aduh, maaf aku nggak sengaja bilang gitu. Mungkin aku mabuk gara – gara minum karbol.” (bingung)
Cewek             : “Kamu gimana, sih? Kamu gila, ya?!?!?!?” (mata berkaca – kaca, makin lama makin lebar dan tebal. Ayo buruan ambil buat bikin aquarium, lumayan, tuh!)
Cowok             : “Maaf, kamu boleh tampar aku..injak – injak saja..tendang..hajar…apapun itu, tapi maaf, ya, aku nggak sengaja!” (sembah sujud, guling – gulingan, jungkir balik, jedotin kepala ke bangku, terus minum karbol yang tadi belum habis, sambil berharap si cewek bilang: ya, sudah. Ngaak apa – apa, jangan nangis lagi, ya..cup…cup…cup…)
Cewek             : %&*(&)(_*_))^%^%&^*T&#%^^!!!$&*():>:KHYg&8!! (kehabisan kata – kata, akhirnya nampar si cowok, nginjek – nginjek, tending hajar, dapet bonus juga ketika si cewek ngeluarin kaca dari matanya yang berkaca – kaca terus………………untung nggak tega karena ingat kaca jendela rumahnya pecah dan berkata…) “Kamu punya kertas koran, nggak? Aku mau mbungkus kaca yang NGGAK SENGAJA (dengan sinis, dingin, tanpa perasaan dan ekspresi) muncul dari mataku.”
Cowok             : __/\--/\___/\---------___---/\----_____________________________ (Rest In BROKEN)

Satu – satunya yang terlintas di pikiranku, ya cerita aneh di atas itu. Mungkin kapan – kapan aku bisa praktek nggak sengaja nembak cowok atau nggak sengaja nerima cowok kalau aku sudah GILA…alhamdulilah, ya..(ala Syahrini) gue masih waras!
Tiba – tiba aku inget kisah cinta lain. Kali ini agak manis, pakai gula asli, jadi nggak bakal sakit tenggorokan. Waktu itu di sebuah klub nyanyi (ada, ya?!?!?! Anggap saja ada, tempat sebenarnya disamarkan) ada seorang anggota baru yang kebetulan cewek yang agak cantik, agak pintar, agak lucu, agak kecil, agak imut…agaknya cewek itu agak semua. Terus seorang pria tersohor di klub nyanyi itu yang cukup mempesona, cukup muda, cukup manis, cukup pelit (nggak penting), pokoknya serba berkecukupan yang berkenalan dengan si cewek yang serba agak itu, tiba – tiba mereka sudah jadi teman di Face Book. Tadinya si cowok mancing minta no HP dengan ngasih HPnya yang canggih dan layarnya bisa dipencet – pencet ke cewek yang agak – agak tadi, “Tolong tulis no HP kamu, ya!” dengan harapan si cewek agak itu bakal minta balik no HPnya dengan cara miscall atau SMS, tapi takdir berkata lain, cewek itu nggak begitu bisa pakai Hp yang kata orang Jawa namanya ndemek screen.
Nggak habis akal, si cowok nge-chat cewek itu lewat FB (anak muda jaman sekarang gitu, ya?):
Cowok             : “Hai!” J
Cewek             : “Hai…” ^^
Cowok             : “Di situ ujan, nggak?”
Cewek             : “Udah brenti. Np?”
Cowok             : “Dingin nggak? Nggak usah mandi, aja…” (garing)
Cewek             : “Telat, udah mandi, keramas, luluran juga. (bohong banget! Biasanya nggak pernah mandi)
Cowok             : “Lagi apa?”
Cewek             : “Chatting.” (udah tahu pake nanya!)
Cowok             : “Nggak ngapa – ngapain?”
Cewek             : “Nyanyi.”
Cowok             : “Lagu?”
Cewek             : “Syalalalalalalalala…lalalalalalala…lalalala…”
Cowok             : “Sydudududududu…syubidam..bidam…”
Cewek             : “Apaan, tuh?”
Cowok             : “Lagu yang sama, babe!” (udah sayang – sayangan)
Cewek             : “Kok, kedengerannya beda?” (chatting bisa denger, ya? -.-a )
Cowok             : “Aku arrangement ulang.” (info tambahan: dia pinter arrangement lagu, loh!)
Cewek             : “Oh, maklum not nya nggak kliatan.”
Cowok             : “Masa, sih?!? not nya kan ada di sini.”
Cewek             : “Mana?”
Cowok             : “Di dalam hati kita.”
Cewek             : (-_-!)
Cowok             : (stay cool dan cuek) “It’s beating like a crazy little thing called love” J
Cewek             : “Mas nya, aku mau makan dulu, ya?” (pura – pura laper)
Cowok             : “Alrite babe!”

Pokoknya gitu, baru kenal sudah begitu. Buat aku, sih, sah – sah saja. Nggak melanggar undang – undang juga, kok! Cuma aku jadi mbayangin kalau ada not di hatiku, aduh mau nyanyi harus operasi dulu buat ambil partitur di dalam hati. Repot, mahal, dan berbahaya. Terus kalau cinta itu berdetak kayak jantung dokter – dokter pasti pada repot. Bayangin orang yang jatuh cinta itu sakit dan harus ke dokter, bakal susah mbedain mana detak jantung mana detak cinta…cieeee…… ^^
Haduh, banyak banget cerita cinta koleksiku. Kapan – kapan aku post lagi, deh! Pokoknya seru, manis, asam, asin, romantis dan mengharu biru. Kalau cerita cintaku? Itu, sih, yang paling manis. Kalem aja..santai, karena aku hanya ingin mencintai seseorang dengan sederhana, nggak peduli masa lalu karena aku akan hidup dengannya saat ini dan besok bukan kembali ke masa lalu, bukan mau sok manis, tapi karena itu mustahil (kecuali kalau aku jatuh cinta sama Doraemon) , dan mencintainya tanpa adanya alasan. : ) cieeeee……
Tapi boleh juga kalau aku cinta sama seseorang yang agak manis, minimal bisa nyanyi Indonesia Raya dengan penuh perasaan terus cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, yang jelas syarat mutlaknya dia lelaki asli yang manis dan bersahaja. #gubrak

Wednesday, December 14, 2011

and I Lu Ya


today I feel that I'm in love
in love with ya..
can't say that it's not love
you're the one I'd never thought
never I dreamed of to be mine
but I'm now falling for ya
and I'm singing
syalala..lalalala...lalalalalalalalala...

I'm now fall in love with ya
the one I'd never thought
the one I'd never dreamth of
the one I'd never known
but I'm now falling for ya

to nite I wanna tell ya, lova
please be mine...
can't say that it's not love
you're now the one always in my head
I dream of ya all nite to be mine
yeah I'm now fall for ya
and I'm singing
syalala..lalalala...lalalalalalalalala...

Monday, December 5, 2011

Bunga Cantik


“Konichiwa..!”
“Hai, konichiwa.”
“Silakan, mau pesan apa?”
“Cold ocha….”
“Ada yang lain?”
“Mmmm…bisa nanti? Masih nunggu seseorang.”
“Hai, jadi cold ocha satu?”
“Ya, thank you!”
Ocha, sejenis green tea asal Jepang. Aku selalu menyukainya. Teh ini memang enak. Aroma dan warnanya khas, terasa agak pahit, terlihat hijau segar transparan dalam gelas yang berembun dengan balok – balok es bergerak – gerak timbul tenggelam.
“Silakan!”
“Thank you!”
Balok – balok es dalam gelas panjang itu semakin berputar ketika gelas kugoyangkan beberapa kali. Embun di tepian gelasnya semakin banyak dan menetes di atas meja hitam yang terlihat kontras dengan bangku merah yang kududuki. Seperempat isi gelas panjang itu  kini berkurang, embun di sisi luarnya berubah menjadi butir – butir air yang menetes, mengalir dari sisi luar gelas, yang kini terdiam di atas meja, membentuk sebuah lingkaran air di atas meja.
Warna hijau transparan dalam gelas itu semakin memudar. Memudar sampai akhirnya menghilang, menjadi air mineral dalam sebuah botol di antara suara canda tawa dan lagu dalam sebuah bis yang melintasi panasnya kota Solo, berhenti di halaman parkir museum batik Danar Hadi.
“I wanna go to the toilet for a while, do you?” aku mendengar suaraku siang itu.
“Oh, thank you, but can I just wait for you here?”
“Of course, but is it ok?”
“That’s okay!”
“Ah, gomen ne! Chotto!”
Aku mencuci tangan sambil menatap wajahku di cermin seraya menampakkan sebuah lengkung di bibirku yang orang bilang sebagai senyuman. Menahannya sesaat dan berharap lengkung itu masih bertahan sampai beberapa hari lagi.
“Hai! Satu…Dua..Tiga..!”
Aku melihat seorang temanku mengarahkan kameranya kepada dua orang yang tengah duduk setengah mesra di hadapannya. Sang pria dengan Polo T-shirt coklat kopi serta jeans gelap nyaris hitam selututnya dan setangkai bunga yang tampak rapuh, namun cantik, duduk bersimpuh hampir bersandar dalam T-shirt ­hijau nya yang terlihat pas berada di atas rok senada yang dipakainya.
“Nok’e, ojo mikir macem – macem, loh! Mung foto, thok, nggo seneng – seneng wae, okh,” pria itu kini berkata padaku sambil meletakan tangan besarnya di atas pundakku yang terlihat begitu kontras.
“Aku ngerti, okh, ngene takfotoke! Kudune ki, Hana-chan radha mempet kowe sithik, loh!”
Kini aku berada di depan mereka dan bersiap menekan tombol capture di kamera yang kini ada di tanganku.
“One..two…three! Cheese!”
“Thank you, Abi, may I see?”
“Sure! Look at this, you look so kawai…! Want me to take once more?”
“Ah, thank you!”
“Look at me guys! One..two..three…!”
Aku melihat hasil fotonya,
“Kinda perfect match!”
“Ah, thank you, Abi! You are so kind!”
Aku hanya tersenyum, lalu mengajaknya masuk ke dalam museum mengikuti teman – teman yang lain dan mengikuti tour. Serasa samar – samar aku mendengar suara pemandu yang menjelaskan tiap detail batik yang kami lewati sampai memasuki ruang produksi dan aku hanya sibuk dengan pikiranku sambil sesekali mengamati pola batik yang terpampang di setiap sudut ruangan.
“Abi, could you help me bring my bag for a while?”
“Sure! I’ll take it. Wow, it’s so heavy!”
“Sorry, I bring a lot of stuffs there. Is it okay?”
“Fine, just go on!”
Aku memandanginya membayar setumpuk batik yang dipilihnya sebagai oleh – oleh. Tanda bukti bahwa dia telah menjejakkan kakinya di Indonesia, di Solo. Aku masih memasang lengkung manis ini di bibirku. Merasakan panasnya matahari ketika berpose memegang pangkal meriam menemani bunga cantik itu berfoto dan duduk di sebuah beranda klasik seolah bercengkerama dengannya mengambil bukti kehadiran kami dengan sebuah kamera digital.
“Minasan! We will have our lunch in this restaurant, please be careful when you cross the road,” pria itu berdiri di antara tempat duduk di bis, “…and sorry to speak in bahasa Indonesia, teman – teman Indonesia tolong partnernya dijaga. Langsung duduk dan ambil makan aja, semua sudah dipesan, ndak usah nunggu. Okay thanks every one!”
Aku cukup menikmati makan siang hari itu. Sejak kemarin siang aku tidak nafsu makan, baru saat itu aku mampu menghabiskan nasi di piringku. Hanya sesaat aku merasa pria itu menatapku beberapa kali sambil melirik setangkai bunga yang duduk di sebelahku. Cantik!
“Konichiwa!”
Aku kembali menatap cold ocha di mejaku. Menggoyangkannya beberapa kali, lalu sedikit meneguknya. Balok – balok es di dalamnya semakin mengecil. Meminumnya sedikit lagi lalu melirik jam silver yang melingkar di tangan kiriku. Hmmm…jam 11.45, masih lima belas menit lagi. Aku datang terlalu awal. Aku kembali menggoncangkan gelasku sambil memandang balok – balok es yang sudah kehilangan garis tegas rusuk – rusuknya. Tinggal setengah.
Mataku mulai mengarah ke seorang gadis di depanku, berkulit sawo matang dengan kaosnya yang berwarna merah terang, tengan memilih menu makan siangnya. Menyebutkan pesanannya sambil menatap buku menunya serius. Warna merah kaosnya yang pas badan dan sedikit memperlihatkan tulang selangkanya seolah bergerak, lalu membawaku melihat sosokku berjalan maju dan membawaku ke tumpukan batu – batu raksasa dengan reliefnya.
“Abi, are you okay?”
“Oh, fine. That’s okay!” jawabku sambil mengusap pergelangan kakiku yang bengkak dan membiru. Aku semalam kesleo. Sakit. “Thank you, Miho. You’re so kind.”
“No problem. Let’s take a picture, here! In front of this statue!”
Kami pun berfoto, mengabadikan moment panasnya Borobudur siang itu. Seraya mendengarkan tour guide di depanku dengan semangat menceritakan sejarah candi agung ini. Capingnya yang terlihat kontras dengan kaos birunya terlihat sangat melindungi wajahnya dari terpaan matahari yang menyengat. Puas mengitari artefak raksasa ini kami pun mulai berbalik dan menuruni tangganya.
“He?!?!” aku menatap ekspresi wajah putih Miho yang kaget dengan tatapan tidak suka, lalu mengarahkan pandanganku pada apa yang dilihatnya.
Pria itu. Dia kini memakai baju putih yang dipasangkan dengan jeans selututnya berjalan menuntun bunga cantil itu dengan anggun. Nampak seperti seorang pria berwibawa memberikan tangannya seolah mengajak berdansa, dan sang kekasih menyambutnya dengan anggun dan bangga. Melihat itu aku hanya tersenyum. Senyum yang sama yang aku bawa selama beberapa hari ini, namun mendadak rasa sakit di kakiku hilang sama sekali.
“Eh…Abi? I just…”
Aku tersenyum simpul. Seolah bertanya ada apa.
“You told me you wanted to go the toilet right? Let’s walk a bit faster.”
“But, are you okay? I mean, your leg and…”
“I’m definitely fine. Thank you, no need to worry.”
Kami berjalan sedikit lebih cepat. Aku menuruni tangga sambil sedikit menyibakkan kain yang disewakan untuk dipakai sebagai sarung selama di areal candi.  Pria itu menoleh ke belakang dan refleks melepaskan tangan yang sedang digenggamnya. Berhenti berjalan dan menatapku canggung. Lalu dengan gaya yang sama dia menawarkan tangannya ke arahku yang berdiri satu anak tangga di atasnya.
“Sikilmu ora opo – opo? Ndak loro banget?”
“Can’t you see? I’m fine. I’m still alive. I can walk by myself. Excuse me, Sir, we’re a bit in hurry,” aku masih mempertahankan senyumku sambil menjawabnya sopan.
“Nok’e ojo ngono, to!” dia menyodorkan tangannya lebih dekat, “Yok, mbok, tibo.”
Aku menyambut tangannya dan menggenggamnya kencang, tanpa menatap wajahnya. Lalu berjalan menatap ke depan, melewati bunga cantik itu tanpa meliriknya. Sesaat kemudian aku menatap pria itu dan melepaskan tangannya begitu saja.
“Thank you!” jawabku dengan pelan dan dingin.
Aku membuka mata. Melihat ramainya Jogja dari dalam bis. Mulailah sore itu kakiku yang kembali terasa sakit kubawa berjalan menapaki Malioboro, dengan mempertahankan lengkung senyum di bibirku aku melihat setiap barang – barang yang terpajang. Menemani temanku membeli beberapa dress batik dan aksesoris. Hingga aku melihat pria itu lagi berjalan bersama bunga cantiknya, persis seperti sepasang kekasih yang anggun.
Semua berlalu begitu saja sampai aku kembali harus menyeret kakiku menuju tempat duduk VIP untuk menonton sendratari Ramayana di Prambanan. Malam mulai turun, angin semakin bergerak. Sial! Aku pergi tanpa membawa jaket dan sekarang aku kedinginan, ditambah lagi harus melihat pertunjukan yang telah tiga kali aku tonton. Oh, thanks God!
“Nok’e aku beliin kamu kopi, mau?” pria itu kini menjejeriku sambil membawa satu cup kopi panas.
Aku menerimanya. Dia meninggalkanku dan memilih duduk di deretan kursi belakang. Sekitar dua atau tiga deret di belakangku. Panas. Kopi ini panas. Aku meminumnya tanpa merasakan panasnya dan rasanya yang terlalu manis untukku. Aku tidak suka manis. Jarang menambahkan gula ke dalam cangkir kopiku.
Angin yang semakin dingin menamparku ketika mataku hampir terpejam di akhir pertunjukan. Kembali aku memainkan kamera digitalku, mengabadikan beberapa momen dengan aktor sendratari Ramayana. Lalu berjalan menuju bis untuk kembali ke Salatiga.
“… … …kimi to deatta kiseki ga kono mune ni ahureteru……sora mo toberu haz………”
Aku terjaga mendengar sebuah lagu yang disetel pelan dalam bis yang kami tumpangi. Mataku menjelajah jalan yang terlihat gelap dari balik kaca. Dingin. Aku masih merasakan hembusan AC di atas kepalaku, refleks aku berdiri menutup lubang AC, dan entah ada dorongan apa mataku menjelajah setiap jengkal bis dan aku tersenyum saat menatap ke belakang. Di sana di deretan belakang bis sebelah kiri, aku melihatnya lagi. Aku berjalan di antara bangku bis, menundukkan badan untuk mengambil sebotol air mineral di dekat pintu belakang bis dan sedikit melayangkan pandanganku ke deretan bangku belakang yang sebelah kiri itu. Lagi aku tersenyum. Pria itu terlelap dengan si bunga cantik bersandar di bahu kirinya, sementara tangan besarnya melingkar di pinggang bunga itu. Brengsek!
“………kimi to dea hastashii ega……sora mo tobero hazu………”
Aku melirik jam di tangan kiriku, sedikit memiringkannya ke arah cahaya.
“….nothing to do…no one but me, that’s all I need…” dering ponselku mengembalikan pikiranku kea lam nyata.
Jam 12.05, yang kutunggu menelepon.
“Hallo? Telat? Oh…”
“Sorry ya…kalau udah laper makan aja dulu!”
“Okay, santai aja kali! Aku makan dulu, ya?”
Pip.
“Mbak!”
“Hai, mau pesan sekarang?”
“Original ramen satu.”
“Hai, silakan tunggu.”
“Thank you!”
Aku memainkan ponsel di tanganku. Membuka tiap menunya dan memencet asal tiap tombolnya. Ponsel itu berputar – putar di tanganku, bergetar dan berbunyi.
“Jadi, sekarang akan jadi hari pertama kita bertemu dengan Japanese participants… ….”
“..nothing to do nowhere to be…simple little kind of free…”
“Ops, excuse me.”
Aku berjalan sedikit memisahkan diri dari rombongan.
“Halo?” lalu aku hanya terdiam dan mendengar kata – kata seseorang dari dalam ponselku. Suara pesawat yang baru lepas landas dari Ngurah Rai Airport ini menyadarkanku.
Air mataku menetes ketika mematikan ponsel.
“Kakek meninggal,” aku berbisik pada pria itu, dia yang sedang berdiri di antara teman – teman dengan T-shirt merahnya.
“Kamu, ndak apa – apa? Ayo kita meh makan malam dulu.”
“I’m fine.”
“Tenang, ya! Kita ndak bisa lagi berbuat apa – apa di sini, ndak mungkin mbalek juga, to?”
Aku hanya mengangguk.
“Aku meh ke toilet dulu.”
Aku mencuci mukaku di westafel dan menatap wajahku yang berantakan. Menarik nafas panjang dan tersenyum. Baru saja aku sampai di Bali, baru saja program ini akan dimulai, aku harus dihantam rasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang bahkan lebih berharga dari ayahku. Seseorang yang membuatku tumbuh dengan hati yang kuat dan mendengarkan setiap cerita tentang mimpi serta hari – hariku. Mentertawakan hal yang sama dengan apa yang aku tertawakan dan selalu mengajarkanku untuk menerima keadaan tanpa harus pasrah.
“..tok…tok…tok…”
Pintu toilet diketuk dari luar.
“Abi, kamu masih di dalam? Is everything okay?”
“Aku nggak apa – apa, Mas.”
“Kakekmu meninggal, ya? I’m really sorry. Kamu terlihat syok.”
“Thank you, but there’s nothing I can do about it, even too late to come back. I can only smile.”
Aku tersenyum, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Semangat, ya! Kamu nggak sendiri, kok!” sosok di depanku, dosen yang lebih seperti teman, itu kini berdiri di sisi kananku dan memegang pundakku.
“Thank you, Mas, harus semangat! Sudah ada di sini, harus jalan baik!”
“Ayo, senyum!” dia menggodaku dengan senyumnya yang manis, matanya yang tajam itu menatapku seolah menyeledik isi kepala dan hatiku.
Matahari hari pertama di Bali mulai bergerak ke barat, selesai sudah hari itu kami menjelajah sebagian kecil pulau dewata ini. Senja itu kami menikmati sejuk hembus angin di pantai Seminyak, berfoto, saling melempar pasir dan menikmati deburan ombak.
Crat!!!
Seseorang melemparku pasir basah, aku mengejar dan melemparnya balik sambil tertawa.
“Koko kena!” teriakku sambil tersenyum melewati pria itu yang mendadak bersikap seolah tidak mengenalku. Aku hanya tersenyum menatap laut. Sore itu berlalu begitu saja.
“Ayo keluar, cari bir! Nyobain kafe di depan – depan itu, loh!”
“Ayo, Mas!” Koko menyambut ajakan leader sekaligus dosenku itu seusai briefing malam itu.
“Abi, ayo ikut!”
Nggak, deh, Mas! Bisa mabok aku.”
“Y owes…ayo, Ko!”
“Ah, aku pengen, ekh!” pria itu berseru dari balik laptopnya, “Tapi ngko wae lah.”
“Disitan, ya!” Koko pergi sambil menutup pintu kamar.
Aku terdiam, kehilangan lengkungan yang kupasang di bibirku sepanjang hari ini, tanganku memainkan ponsel dan mataku menatap Mbak Asih yang duduk di sofa tepat di depan tempat tidur yang kududuki sambil memainkan Blackberry-nya. Sementara Yas masih asyik dengan laman face book yang ada di laptopnya. Menengkurapkan tubuhnya di sebelahku dan mulai memutar lagu – lagu mellow kenangannya. Pria itu? Huh, masih telanjang dada dengan laptop dan segelas air di sebelahnya. Muak aku melihat tubuh hitamnya.
Aku masih duduk hampir menangis, mengingat hari itu kakek dimakamkan sementara aku tidak ada di rumah.
“Nok’e, kamu kenapa?” pria itu duduk menjejeriku, spontan aku bergeser.
“Mbak Asih, ayo kita jalan, yuk!” Yas berseru.
“Kemana?” pria itu, entah bodoh atau idiot, langsung tertarik mendengar seruan Yas, persis anak lima tahun yang menemukan mainan baru.
“Cari angin, susul Koko sama mas Chris. Ayo cepat!” aku tahu Yas melirikku, dia bermaksud baik. Memberiku waktu sendiri. Aku belum bisa kembali ke kamarku karena kamarku masih terkunci, kuncinya dibawa oleh partnerku.
“Kalian mau kemana, ekh? Aku ikut ya!” perhatian pria itu beralih dengan cepat.
Aku terdiam di kamar yang sunyi. Memainkan remote TV yang entah sudah berapa kali aku pencet. Membuka isi kulkas, meneguk sebotol coke dingin. Aku menatap diriku di cermin. Bodoh! Sejak kapan aku tergantung dengan seseorang? Aku merasa sangat bodoh. Aku memang sedih atas sesuatu yang tidak bisa kuubah dan aku sesalkan, tetapi aku tahu seberapa aku kuat. Bukan senyuman professional yang menunjukkan aku kuat, bukan air mata yang tertahan yang menggambarkan kemampuanku menahan duka. Aku tahu aku kuat, karena aku bisa melewati segala yang berat tanpa terjatuh.
Aku termeneung memandang lampu di samping tempat tidur yang kududuki, warnanya kuning redup tertutupi kap fiber berwarna putih susu. Bias cahayanya terlihat seperti elemen – elemen cahaya redup kekuningan yang tertangkap lensa kamera melingkari fokus utama di tengahnya. Aku masih memandangi cahaya itu, mataku terasa sejuk menatap lampu yang redup, cahaya itu semakin kabur. Dia membawaku ke cahaya matahari siang yang terik diantara daun – daun hijau pohon di depan Katsu Tei tempatku duduk. Aku terhenyak, baru saja aku kembali kekenyataan. Pada saat itu pelayanan tempat makan itu membawakan ramen pesananku. Aku mulai menikmati ramen di hadapanku sambil tersenyum. Bodohnya diriku.
Aku menikmati semangkuk ramen di siang yang panas itu. Rasanya yang khas menusuk lidahku, aroma ikan merasuki rongga hidungku menjalar ke dalam dan melekat bahkan uapnya sudah tak menyentuh ujung hidungku lagi. Aroma ikan itu masih menusuk, sampai membawaku ke masa lalu di tempat ini. Samar aku melihat pria itu duduk di depanku, sambil memainkan Blackberry barunya. Dasar anak kecil! Kalau sudah menemukan mainan baru, dunia serasa jadi milik sendiri. Bodoh!
“So, I just wanna listen to your speech as I texted you before, sir!” aku mendengar suara bergaung pelan di udara yang panas itu.
“Opo, to? Aku ndak ngerti kamu mau ngomong apa?”
“Okay, I’ll make it easier for you. Where’s your ring?”
“Oh, ini ketinggalan di Solo.”
“Kok, bisa? Barang kesayangan yang kadang lupa mbok lepas kalau mandi atau tidur ketinggalan?”
“Kemarin itu, to, agak repot di rumah. Lebaran gini mbak’e libur, yo aku bantu – bantu ibu.”
Mbok copot?”
“Iya, to.”
“Sampai ndak mbok pakai lagi, waktu kemarin pergi ke Jogja sama mas Dan dan Koko?”
“Kemarin aku balik Salatiga buru – buru, Nok’e, sampai lupa ndak takpake lagi. Kamu kenapa, to?” wajahnya sedikit gusar.
Ndak apa – apa, kok! Ya sudah, kapan kamu pulang Solo? Mbok pakai lagi, ya, cincinnya,” aku tersenyum simpul.
“Cuma masalah cincin wae, kok, ya repot banget!”
“Repot, to! Lah wong cincinnya sudah terbang ke Jepang, okh!”
Ndak, Nok’e, di Solo. Kok, isa tekan Jepang mbarang, ikh, loh?” dia setengah marah.
Nek ketinggalan di Solo, berarti baru tiga hari, ya, kamu ndak pake cincin?”
Ngopo to?”
“Harusnya belang cincin di jarimu ini masih tajam,” aku meraih tangannya, “Kamu pakai cincin itu lebih dari setahun dan nggak pernah melepasnya, untuk menghilangkan lingkaran putih di jarimu ini, ya, butuh waktu minimal seminggu tinggal di tempat yang panas. Saben dino panasan, yo! Itu pun belum tentu hilang, kayak bekas jam di tanganku ini.”
“Kok, kamu ngomong gitu?” matanya terbelalak.
“Do please attention on detail when you are lying! I know what you were doing behind me, not merely behind me, in front of me sometimes. I can’t believe that your pretty Hana-can kept flattering you and me, saying how sweet we were while she had been your girl behind me. Was she losing her mid?” aku berkata dengan santai.
“Nok’e?”
Lah, kamu disuruh ngaku wae susah! Aku ndak marah kalau kamu pacaran sama ndekne, aku cuma  marah gara – gara cincinmu mbok kasih ke dia. Kamu selalu berlebihan membanggakan barang kesayanganmu, katamu ndak bakal mbok kasih ke orang, takbuat mainan sedikit wae kamu marah. Kamu kasar sama aku! Lah, malah mbokkasihke orang yang baru mbok kenal. Mau jadi sok manis? Sok jatuh cinta? Oya, dimana kancing bajumu? Mbok kasihke Koala kesayanganmu? Baru kenal wae sudah punya nama sayang. Sudah,  ndak perlu dijawab, kamu cuma mau bilang dia itu kayak adekmu, to?
“Maaf,” dia tak berani menatapku. Matanya berkaca – kaca. Dasar, bodoh! Idiot macam apa? Masih bisa menangis? Aku tersenyum simpul dan santai.
“That’s okay! I’m fine,” aku masih tenang. Aku memang tidak marah, aku cukup pintar untuk memilih objek kemarahan.  
“Waktu itu aku ngobrol sama Hana-chan, terus, ya intinya jadi kebablasan. Aku ndak sengaja nembak.”
Aku tertawa, benar – benar tertawa. Lelucon macam apa ini? Mungkin, aku juga tidak sengaja dekat dengan pria itu. Khilaf! Aku merasa begitu bodoh karena meladeni orang bodoh. Aku hanya mendengarkan celotehnya yang memaki diri sendiri sambil menikmati makan siangku dengan santai seolah menonton stand up comedy yang begitu lucu namun tak mampu membuatku tertawa. Iya, iya, kamu memang bodoh!
“Aku memang orang yang tidak bisa berkomitmen.”
“Sssst…sudah..sudah…nggak apa – apa. Aku, kan, nggak marah. Aku hanya tidak suka kamu bohong. Sudah, aku nggak suka orang yang suka maki – maki. Oya, aku juga ingin kamu tahu, kamu adalah orang yang berkomitmen untuk tidak bisa berkomitmen.”
Kami terdiam.
Aku menghabiskan makan siangku dan aku melihat sesosok gadis berambut hitam lurus dengan T-shirt pink menghampiriku. Oh, aku sudah kembali ke kenyataan.
“Aduh, sorry, ban motorku kempes. Udah makan?”
“Nggak apa – apa, santai saja! Sudah, kok, kamu pesan saja sekarang.”
Dia memanggil pelayan dan mulai memesan makanan.
“Okay, jadi gimana ceritanya? Kamu, kok, bego banget, sih, bisa sabar gitu? Dia tertawa lepas.
“Jadi, mau mbahas laporan atau nggosip?
“Dua – duanya boleh. Anyway, dia cantik?"
"Cantik. Cantik itu mbenerin bedak setiap sepuluh menit, mbenerin lipstik, liat kaca tiap detik dan takut kepanasan. Susah hidup."
"Hahahaha...gila, lo!"