Aku suka kopi. Aku suka warnanya yang hitam pekat, tidak abu – abu, jelas, tidak setengah – setengah. Aku suka aromanya yang khas, harum, dan memberi sebuah ketenangan tiap kali kuhirup diantara uapnya yang melayang di udara, uap panasnya yang terlihat samar – samar, yang semakin indah saat cangkirnya ku taruh di bawah lampu temaram diantara suara musik yang terdengar halus dan santai selayaknya orang berbincang dengan nada. Aku suka ketika kafein hitam itu saat ia terasa murni, tanpa pemanis, sedikit pahit dengan ampas yang tersaring. Rasanya seperti berjalan sendiri di tepian jalan kota tua tanpa seorangpun mengganggu, tanpa perlu berpikir harus menyapa dan bertanya. Aku benar – benar jatuh cinta padanya.
Aku membawa sebuah cangkir putih ke teras depan rumahku. Masih gerimis, udara dingin menusuk, jalanan terlihat lengang dari balik pagar besi yang membentengi taman sederhana di hadapan teras panggung tempat aku duduk di atas kursi keramik. Uap dari cangkir itu mengenai wajahku. Aku menghirupnya, dan meminum sedikit kopi itu. Panas.
Mataku memandang sebatang pohon kelengkeng yang tidak terlalu besar di hadapanku. Kedua bolanya yang besar menemukan setitik cahaya kuning diantara daun – daun yang basah terterpa gerimis membawa aroma khas pedesaan di kala senja. Cahaya kuning itu begitu kecil dan terus bergerak. Kunang – kunang.
“Itu kukunya orang mati, loh!”
Aku mendengar celoteh seorang anak kecil dalam memori otakku yang terputar mundur. Seorang anak perempuan kecil tengah bermain bersamaku di pinggir sawah senja itu, di sebuah kompleks perumahan yang hanya beberapa blok dari rumah masa kecilku dulu.
Aku tersenyum. Menghirup uap kopi yang mulai menghangat di cangkir putih yang tangan kiriku genggam. Aku masih saja menyukai kunang – kunang. Ajaib sekali, serangga itu mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Indah. Aku terus mengagumi kunang – kunang itu. Aneh, ada seekor kunang – kunang mendadak muncul di halaman rumahku yang tidak terlalu dekat dengan sawah. Setahuku kunang – kunang itu selalu ada di sawah, diantara padi – padi yang mulai menguning dan entah dari mana datangnya, mungkin memang benar – benar kuku orang mati.
Aku meneguk kopiku sambil tersenyum memikirkanmu. Mungkin aku harus mati dulu untuk bisa menyentuh pipimu. Karena kamu tidak seperti kopi yang tajam, kamu nyata hanya saja tidak dapat aku sentuh apalagi aku hirup. Kamu memberiku ketenangan, hanya saja kamu tidak cukup hangat memberikan tanganmu padaku. Kamu memang berbeda dengan kopi, kamu kadang membuatku gugup dan terlalu banyak berkata – kata, sementara kopi membuatku banyak diam dan menikmatimu.
Ketika aku mati mungkin sebagian kuku tanganku akan terbang menjadi kunang – kunang. Ia akan terbang menemukanmu tertidur tengah malam, masuk perlahan dan hinggap di pipimu. Begitulah caraku menyentuhmu.
Ia akan terbang di atas kepalamu dan mendengarkanmu bernyanyi. Melantunkan kata – kata yang kau nyanyikan bersama petikan senar – senar gitar yang dengan setia kau peluk. Menunggumu sampai kau tertidur dan kembali hinggap di pipimu, tanpa kata, tanpa suara, ia mengepakan sayap kecilnya perlahan dan meredupkan cahayanya agar matamu tak terbuka. Ia takut kau terbangun dan menangkapmu saat kau terjaga. Hanya sesaat ia akan hinggap di pipimu, begitulah aku menyentuh wajahmu lembut dan menatapmu yang tengah tertidur.
Terus demikian sampai suatu hari kukumu yang indahpun akan menjadi kunang – kunang.
Aku tersenyum. Bodoh!
Aku meneguk kopiku dan meminumnya sampai habis.
Dhenok. P, #Purbalingga, 06.45 pm, December 26, 2011
No comments:
Post a Comment